Yang kau lakukan hanyalah tetap menangis, menangis, dan terus menangis. Aku mulai mengerti, itulah kebiasaanmu ketika menghadapi masalah. Ketika engkau tidak berani melakukan sesuatu meskipun itu dipandang baik dengan menegur papamu, kau hanya mampu meluapkan kekecewaan di dadaku.
Belum lama setelah itu, kau kembali mencari dadaku. Jujur, aku juga tidak sampai hati dan terus bertanya kepada Sang Pencipta, mengapa terkadang masalah yang tidak masuk akal datang bertubi-tubi seperti tidak bisa dijeda?
Aku memang sering mendengar para tetua meyakinkan bahwa semua masalah yang dialami seseorang pasti tidak melebihi kekuatan orang itu.Â
Tetapi, ketika masalah datang hampir bersamaan, aku mulai ragu, terlebih waktu tangismu sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kau pun hampir terjatuh pingsan, jika aku tidak membelai pundakmu. Entah suara dari mana berkata dan memintaku untuk selain mengelus rambutmu, aku harus membelai pundakmu.
Lagi-lagi seperti dahulu, aku tidak mampu berkata. Memandang masalahmu saja, aku seperti tidak bisa menerima. Aku tahu, sebagai anak tunggal, merasakan kehilangan kasih seorang ibu begitu menyedihkan.
Tidak ada peristiwa pilu yang lebih memedihkan selain kehilangan seseorang yang paling dikasihi. Engkau selalu bercerita bahwa ibumulah yang selalu dekat denganmu sejak kecil. Ibumulah yang hadir selama dua puluh empat jam dalam setiap suasana hatimu.
Saat itu, ketika ibumu kalah menghadapi pertempuran melawan kematian, engkau seperti kehilangan separuh jiwamu. Aku melihatnya dari kedua bola matamu. Nanar, hampir kosong, sebagian memutih, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku memutuskan lebih lama untuk menemanimu, dibanding kebiasaan kita berdua setiap memadu kasih di taman itu.
Pohon beringin melambai-lambaikan daunnya. Entah kenapa, siang itu lebih sejuk dari biasa. Angin bertiup sepoi-sepoi di tengah matahari yang tidak terlalu terik. Suasana orang di sekitar pun lebih sepi. Apakah alam sedang mencoba mengerti dan menghibur hatimu?
Aku pun terkadang merasa demikian. Alam selalu hadir tanpa diminta dan selalu berhasil meringankan setiap emosi yang menyakitkan. Dalam dudukku di bawah pohon beringin itu sewaktu belum mengenalmu, aku juga berusaha melupakan pahitnya masa kelamku.Â
Mungkin kamu tidak tahu dan aku memang sengaja tidak menceritakannya, karena aku tidak ingin menambah kesedihanmu. Biarlah aku menjadi tempat perteduhanmu, kendati aku belum bisa menjadi tempat perteduhan yang paling baik.
Ya, aku tidak menyalahkanmu ketika waktu itu kau menghilang tanpa kabar. Dari Mirna, sahabatmu, aku baru tahu, kau pergi bersamanya, membeli baju-baju mahal, makan di restoran enak, dan menonton di bioskop.Â