Entah sudah dimulai sejak kapan, kebiasaan unik di dusun itu ada dan terus ada, menjadi kebanggaan tiga ratus kepala keluarga di sana dan berhasil menyita perhatian orang-orang di luar dusun.Â
Beberapa wartawan bahkan reporter luar negeri telah melaporkan bahwa kebiasaan warga mengarak kematian sukses membuat kebaikan demi kebaikan terus bertahan dan bermunculan selalu dalam bentuk berbagai rupa.
Tidak ada peraturan tertulis di sana. Hanya sebuah adat istiadat yang dijunjung tinggi sampai sekarang. Bahwa setiap warga yang bertemu ajal, entah apa pun penyebabnya, entah siapa pun itu (baik pejabat maupun rakyat jelata, baik orang kaya maupun orang miskin) akan dimandikan, dirapikan, lalu diletakkan dalam peti mati berbahan kayu jati yang telah dipelitur sedemikian apik dan mengilat.
Bukan itu yang menarik. Proses arak-arakanlah yang utama. Bagaimana peti itu akan diangkat oleh empat orang pada setiap ujungnya, bergantian dengan para pengangkat berikutnya, lantas dibawa berjalan-jalan dari satu ujung dusun sampai ke ujung lain, mengelilingi seluruh wilayah dusun, dan disaksikan oleh para warga.Â
Warga dusun tidak sembarangan boleh menyaksikan. Sudah menjadi kesepakatan bahwa siapa yang keluar rumah dan mengikuti arak-arakan, itu jadi pertanda penilaian seberapa baik orang yang meninggal.
Dusun Mintono memiliki tradisi mengukur kebaikan lewat kematian.Â
Ketika semakin banyak orang yang menghadiri dan membuntuti arak-arakan peti, maka nama keluarga dari orang yang meninggal akan semakin harum. Mereka dikenal sebagai orang baik, karena betapa banyak jumlah warga yang tergerak dan tersentuh hatinya sehingga memutuskan mengantar mendiang sampai ke liang lahat.
Sebaliknya, jika tidak ada satu pun yang mengikuti arakan, keluarga bersangkutan menjadi aib bagi dusun. Baik yang telah meninggal maupun anggota keluarga yang masih hidup, akan dikenal selamanya menjadi orang yang patut dikucilkan.Â
Dusun Mintono, entah sejak kapan telah punya aturan tidak tertulis dan dijunjung tinggi, wajib menjaga tempat mereka sebagai wilayah di mana kebaikan bertumbuh subur dan harus dilestarikan.
Apakah para leluhur sudah bosan dengan kejahatan yang terus merajalela? Apakah para leluhur memang dari dasarnya sudah begitu baik dan ingin terus mewariskan kebaikan kepada generasi berikutnya? Hendak percaya atau tidak, peran leluhur begitu dihormati dan nyata.Â
Cuaca yang terjadi selama pengarakan dipercaya sebagai kehadiran leluhur dalam menyertai kepergian mendiang. Jika baik-baik dan tidak hujan, berarti mendiang benar-benar orang baik. Bila sebaliknya terjadi, tanpa ada ucapan warga dusun, semua sudah mengerti, mendiang adalah orang jahat. Meskipun pernah ada kebaikan di hidupnya, itu tidaklah murni, karena ada maksud di baliknya.
Oleh sebab itu, seluruh warga dusun berlomba-lomba mengisi hari demi hari dalam hidup dengan berbagi kebaikan. Tidak ada yang mau pada hari kematian nanti, tidak ada warga menyaksikan. Tidak ada yang mau pula, sudah meninggal malah jadi aib keluarga.
Setiap orang di dusun memikirkan benar-benar soal kematian. Di samping kehidupan yang sudah begitu sulit dipertahankan karena tanah dusun itu begitu gersang dan sering terjadi wabah penyakit bagi ternak-ternak yang dipelihara, tiap-tiap orang masih direpotkan tentang kematian.
Keadaan sesulit apa pun dalam hidup, mereka tetap berbagi, berbagi, dan berbagi. Semakin ke sini, adat istiadat itu menyadarkan dan mengosongkan pemahaman mereka akan hidup, bahwa datang ke dunia tidaklah membawa apa-apa, menyelesaikan hidup pun demikian.Â
Hanya kebaikan modal utama yang harus dikerjakan selama hidup. Mereka berlomba mengharumkan nama baik pribadi dan keluarga.Â
Seiring dengan kebiasaan berbuat baik, seluruh warga dusun begitu peka dan pandai dalam menilai kebaikan. Mana yang benar-benar tulus, mana pula yang ada niat busuk di belakang. Mata-mata para pembuat kebaikan semakin bersinar jika ketulusan menyertai. Sebaliknya, ada sorot mata yang begitu licik, jika kebaikan ada maunya. Warga dusun sangat tahu.
Tidak ada kejahatan di dusun itu. Satu-satunya orang jahat sudah berpindah tempat ke kota besar. Wak Tur masih berpikir, bagaimana cara ia meninggal. Ia begitu rindu dimakamkan di samping makam ibunya di dusun Mintono.
"Bagaimana, saya bisa pulang?" tanya Wak Tur dalam surat kepada salah satu anggota keluarganya yang masih tinggal di dusun. Surat itu begitu lama dibalas. Dalam penantian, Wak Tur semakin berpikir dan membuat kondisi kesehatannya tambah parah.
Ia menderita kanker ganas di bagian kaki. Diabetes dan darah tinggi sesekali membuatnya kepayahan, sekadar untuk beraktivitas ringan. Umurnya yang sudah lanjut mengakibatkan ia hanya bisa bergerak dengan sisa-sisa energi. Ia merasa hidupnya tinggal sebentar lagi.Â
Sayang, ia pernah dicap warga dusun sebagai orang yang sudah mencemarkan nama baik dusun. Bagaimana tidak? Sebelum pindah ke kota, ia tertangkap telah mencabuli seorang gadis dan tidak mau bertanggung jawab akan masa depan gadis itu.Â
Gadis itu terpukul. Hatinya begitu sakit. Ia mengurung diri dalam kamar, berbulan-bulan, tidak mau makan, sampai akhirnya meninggal dalam kondisi mengenaskan.
Badan tergeletak di lantai. Ada sebilah belati di samping tangan. Darah mengalir deras. Urat nadi sobek. Mulut berbusa, seperti habis menelan racun. Rambut teracak-acak layaknya orang stres. Sejak saat itu, Wak Tur diusir dari dusun.
"Bu, bagaimana ini, Wak Tur ingin pulang. Apa kita bisa terima?" tanya Wak Ji pada istrinya, sesaat setelah menerima surat itu. Istrinya tidak menjawab. Ia juga bingung.Â
Mereka berdua sudah berusaha susah payah mengembalikan nama baik keluarga. Warga dusun perlahan sudah melupakan nama Wak Tur. Dua puluh tahun adalah masa-masa yang sungguh berat untuk memulihkan nama baik. Saking tidak pernah ada kejahatan di dusun, satu saja timbul, begitu gampang dikenang.
"Apa dia benar-benar ingin pulang, Pak?" pertegas istri itu.
Wak Ji terdiam. Ia membuka kembali surat itu dan membacanya lengkap.
"Ia sekarang sudah jadi pejabat di kota. Coba lihat, Bu, apa itu jabatan yang tertulis di bawah namanya. Seorang petinggi, bukan? Mana tahu, dengan nama baiknya di sana, ia bisa diterima di sini."
"Bapak yakin?"
Sudah seminggu lewat sejak surat balasan dikirim. Dengan setengah hati dan tidak enak kepada pamannya itu, Wak Ji membolehkan Wak Tur pulang. Diam-diam, tanpa sepengetahuan warga dusun.Â
Malam itu pintu rumah terbuka. Wak Tur berjalan perlahan dan tertatih-tatih. Luka yang terbuka di kakinya belum sembuh, karena diabetes.
"Paman, benar paman ingin dimakamkan di sini?" tanya Wak Ji.
"Uhuk... uhuk..."
Terdengar suara batuk keras. Wak Tur mendekatkan telapak tangan ke mulut. Ada bercak darah keluar. Wak Ji mengambil kain lap. Istri Wak Ji segera menyeduh teh panas.
"Minum dulu, Paman, minum," sila istri Wak Ji.
"Apa tidak bisa dikondisikan para warga? Apakah memang mereka belum bisa melupakan kejahatan saya?" Wak Tur perlahan bertanya.
"Saya tidak yakin, Paman. Memang, sebagian seperti sudah lupa. Tetapi, ada juga yang mengingat-ingat. Terutama keluarga gadis itu."
"Bagaimana kalau kamu bantu saya. Semoga cara saya berhasil," ujar Wak Tur.
Dua hari setelah Wak Tur beristirahat, mereka bertiga sibuk membuat bingkisan-bingkisan berupa sembako dan berisi sejumlah uang, yang kemudian Wak Ji dan istrinya memberikan tanpa sepengetahuan warga. Mereka malu dan takut warga tidak menerima. Pada setiap subuh, bingkisan itu sudah terletak di depan pintu rumah tiap-tiap warga, dengan secarik kertas bertuliskan nama "Wak Tur" di dalamnya.
Wak Tur membawa kebiasaan dari kota, saat ia berupaya mencari suara untuk dipilih. Hari demi hari, bingkisan itu terus berdatangan. Para warga bertanya-tanya. Sebagian mengingat kembali siapa Wak Tur.
Tibalah waktunya Wak Tur dijemput ajal. Ia tergeletak di kursi goyang dan tidak ada yang tahu. Wak Ji menemukannya sudah bersimbah darah. Tidak bernyawa.
Peti mati dipersiapkan. Wak Ji beserta istri dan keempat pengangkat peti sudah keluar rumah. Mereka berharap, orang-orang tergerak dan menghadiri arakan itu.
Sepanjang perjalanan menuju liang lahat, angin berembus kencang. Hujan rintik-rintik turun membasahi tanah. Jalan dusun itu sepi sekali. Tidak ada satu pun orang keluar rumah.
Bingkisan-bingkisan itu masih tertumpuk dalam ruang tamu tiap-tiap warga. Tidak ada yang membuka. Tidak ada pula yang memakannya. Kebiasaan dan kepekaan warga dusun Mintono yang telah terlatih bertahun-tahun dalam membedakan kebaikan yang murni dan ada maksud, menganggap bingkisan itu tidaklah tulus adanya. Bagaimana pula tidak ada orang yang mengantar dan meletakkan begitu saja tanpa sopan? Â
Wak Tur akhirnya meninggal. Dalam kesendirian, tenggelam bersama aib keluarga.
 ...
Jakarta
22 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H