Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kematian di Dusun Mintono

22 Agustus 2021   01:12 Diperbarui: 22 Agustus 2021   01:45 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kematian, sumber: Republika.co.id

Oleh sebab itu, seluruh warga dusun berlomba-lomba mengisi hari demi hari dalam hidup dengan berbagi kebaikan. Tidak ada yang mau pada hari kematian nanti, tidak ada warga menyaksikan. Tidak ada yang mau pula, sudah meninggal malah jadi aib keluarga.

Setiap orang di dusun memikirkan benar-benar soal kematian. Di samping kehidupan yang sudah begitu sulit dipertahankan karena tanah dusun itu begitu gersang dan sering terjadi wabah penyakit bagi ternak-ternak yang dipelihara, tiap-tiap orang masih direpotkan tentang kematian.

Keadaan sesulit apa pun dalam hidup, mereka tetap berbagi, berbagi, dan berbagi. Semakin ke sini, adat istiadat itu menyadarkan dan mengosongkan pemahaman mereka akan hidup, bahwa datang ke dunia tidaklah membawa apa-apa, menyelesaikan hidup pun demikian. 

Hanya kebaikan modal utama yang harus dikerjakan selama hidup. Mereka berlomba mengharumkan nama baik pribadi dan keluarga. 

Seiring dengan kebiasaan berbuat baik, seluruh warga dusun begitu peka dan pandai dalam menilai kebaikan. Mana yang benar-benar tulus, mana pula yang ada niat busuk di belakang. Mata-mata para pembuat kebaikan semakin bersinar jika ketulusan menyertai. Sebaliknya, ada sorot mata yang begitu licik, jika kebaikan ada maunya. Warga dusun sangat tahu.

Tidak ada kejahatan di dusun itu. Satu-satunya orang jahat sudah berpindah tempat ke kota besar. Wak Tur masih berpikir, bagaimana cara ia meninggal. Ia begitu rindu dimakamkan di samping makam ibunya di dusun Mintono.

"Bagaimana, saya bisa pulang?" tanya Wak Tur dalam surat kepada salah satu anggota keluarganya yang masih tinggal di dusun. Surat itu begitu lama dibalas. Dalam penantian, Wak Tur semakin berpikir dan membuat kondisi kesehatannya tambah parah.

Ia menderita kanker ganas di bagian kaki. Diabetes dan darah tinggi sesekali membuatnya kepayahan, sekadar untuk beraktivitas ringan. Umurnya yang sudah lanjut mengakibatkan ia hanya bisa bergerak dengan sisa-sisa energi. Ia merasa hidupnya tinggal sebentar lagi. 

Sayang, ia pernah dicap warga dusun sebagai orang yang sudah mencemarkan nama baik dusun. Bagaimana tidak? Sebelum pindah ke kota, ia tertangkap telah mencabuli seorang gadis dan tidak mau bertanggung jawab akan masa depan gadis itu. 

Gadis itu terpukul. Hatinya begitu sakit. Ia mengurung diri dalam kamar, berbulan-bulan, tidak mau makan, sampai akhirnya meninggal dalam kondisi mengenaskan.

Badan tergeletak di lantai. Ada sebilah belati di samping tangan. Darah mengalir deras. Urat nadi sobek. Mulut berbusa, seperti habis menelan racun. Rambut teracak-acak layaknya orang stres. Sejak saat itu, Wak Tur diusir dari dusun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun