"Minum dulu, Paman, minum," sila istri Wak Ji.
"Apa tidak bisa dikondisikan para warga? Apakah memang mereka belum bisa melupakan kejahatan saya?" Wak Tur perlahan bertanya.
"Saya tidak yakin, Paman. Memang, sebagian seperti sudah lupa. Tetapi, ada juga yang mengingat-ingat. Terutama keluarga gadis itu."
"Bagaimana kalau kamu bantu saya. Semoga cara saya berhasil," ujar Wak Tur.
Dua hari setelah Wak Tur beristirahat, mereka bertiga sibuk membuat bingkisan-bingkisan berupa sembako dan berisi sejumlah uang, yang kemudian Wak Ji dan istrinya memberikan tanpa sepengetahuan warga. Mereka malu dan takut warga tidak menerima. Pada setiap subuh, bingkisan itu sudah terletak di depan pintu rumah tiap-tiap warga, dengan secarik kertas bertuliskan nama "Wak Tur" di dalamnya.
Wak Tur membawa kebiasaan dari kota, saat ia berupaya mencari suara untuk dipilih. Hari demi hari, bingkisan itu terus berdatangan. Para warga bertanya-tanya. Sebagian mengingat kembali siapa Wak Tur.
Tibalah waktunya Wak Tur dijemput ajal. Ia tergeletak di kursi goyang dan tidak ada yang tahu. Wak Ji menemukannya sudah bersimbah darah. Tidak bernyawa.
Peti mati dipersiapkan. Wak Ji beserta istri dan keempat pengangkat peti sudah keluar rumah. Mereka berharap, orang-orang tergerak dan menghadiri arakan itu.
Sepanjang perjalanan menuju liang lahat, angin berembus kencang. Hujan rintik-rintik turun membasahi tanah. Jalan dusun itu sepi sekali. Tidak ada satu pun orang keluar rumah.
Bingkisan-bingkisan itu masih tertumpuk dalam ruang tamu tiap-tiap warga. Tidak ada yang membuka. Tidak ada pula yang memakannya. Kebiasaan dan kepekaan warga dusun Mintono yang telah terlatih bertahun-tahun dalam membedakan kebaikan yang murni dan ada maksud, menganggap bingkisan itu tidaklah tulus adanya. Bagaimana pula tidak ada orang yang mengantar dan meletakkan begitu saja tanpa sopan? Â
Wak Tur akhirnya meninggal. Dalam kesendirian, tenggelam bersama aib keluarga.