Oleh sebab itu, seluruh warga dusun berlomba-lomba mengisi hari demi hari dalam hidup dengan berbagi kebaikan. Tidak ada yang mau pada hari kematian nanti, tidak ada warga menyaksikan. Tidak ada yang mau pula, sudah meninggal malah jadi aib keluarga.
Setiap orang di dusun memikirkan benar-benar soal kematian. Di samping kehidupan yang sudah begitu sulit dipertahankan karena tanah dusun itu begitu gersang dan sering terjadi wabah penyakit bagi ternak-ternak yang dipelihara, tiap-tiap orang masih direpotkan tentang kematian.
Keadaan sesulit apa pun dalam hidup, mereka tetap berbagi, berbagi, dan berbagi. Semakin ke sini, adat istiadat itu menyadarkan dan mengosongkan pemahaman mereka akan hidup, bahwa datang ke dunia tidaklah membawa apa-apa, menyelesaikan hidup pun demikian.Â
Hanya kebaikan modal utama yang harus dikerjakan selama hidup. Mereka berlomba mengharumkan nama baik pribadi dan keluarga.Â
Seiring dengan kebiasaan berbuat baik, seluruh warga dusun begitu peka dan pandai dalam menilai kebaikan. Mana yang benar-benar tulus, mana pula yang ada niat busuk di belakang. Mata-mata para pembuat kebaikan semakin bersinar jika ketulusan menyertai. Sebaliknya, ada sorot mata yang begitu licik, jika kebaikan ada maunya. Warga dusun sangat tahu.
Tidak ada kejahatan di dusun itu. Satu-satunya orang jahat sudah berpindah tempat ke kota besar. Wak Tur masih berpikir, bagaimana cara ia meninggal. Ia begitu rindu dimakamkan di samping makam ibunya di dusun Mintono.
"Bagaimana, saya bisa pulang?" tanya Wak Tur dalam surat kepada salah satu anggota keluarganya yang masih tinggal di dusun. Surat itu begitu lama dibalas. Dalam penantian, Wak Tur semakin berpikir dan membuat kondisi kesehatannya tambah parah.
Ia menderita kanker ganas di bagian kaki. Diabetes dan darah tinggi sesekali membuatnya kepayahan, sekadar untuk beraktivitas ringan. Umurnya yang sudah lanjut mengakibatkan ia hanya bisa bergerak dengan sisa-sisa energi. Ia merasa hidupnya tinggal sebentar lagi.Â
Sayang, ia pernah dicap warga dusun sebagai orang yang sudah mencemarkan nama baik dusun. Bagaimana tidak? Sebelum pindah ke kota, ia tertangkap telah mencabuli seorang gadis dan tidak mau bertanggung jawab akan masa depan gadis itu.Â
Gadis itu terpukul. Hatinya begitu sakit. Ia mengurung diri dalam kamar, berbulan-bulan, tidak mau makan, sampai akhirnya meninggal dalam kondisi mengenaskan.
Badan tergeletak di lantai. Ada sebilah belati di samping tangan. Darah mengalir deras. Urat nadi sobek. Mulut berbusa, seperti habis menelan racun. Rambut teracak-acak layaknya orang stres. Sejak saat itu, Wak Tur diusir dari dusun.