"Bu, bagaimana ini, Wak Tur ingin pulang. Apa kita bisa terima?" tanya Wak Ji pada istrinya, sesaat setelah menerima surat itu. Istrinya tidak menjawab. Ia juga bingung.Â
Mereka berdua sudah berusaha susah payah mengembalikan nama baik keluarga. Warga dusun perlahan sudah melupakan nama Wak Tur. Dua puluh tahun adalah masa-masa yang sungguh berat untuk memulihkan nama baik. Saking tidak pernah ada kejahatan di dusun, satu saja timbul, begitu gampang dikenang.
"Apa dia benar-benar ingin pulang, Pak?" pertegas istri itu.
Wak Ji terdiam. Ia membuka kembali surat itu dan membacanya lengkap.
"Ia sekarang sudah jadi pejabat di kota. Coba lihat, Bu, apa itu jabatan yang tertulis di bawah namanya. Seorang petinggi, bukan? Mana tahu, dengan nama baiknya di sana, ia bisa diterima di sini."
"Bapak yakin?"
Sudah seminggu lewat sejak surat balasan dikirim. Dengan setengah hati dan tidak enak kepada pamannya itu, Wak Ji membolehkan Wak Tur pulang. Diam-diam, tanpa sepengetahuan warga dusun.Â
Malam itu pintu rumah terbuka. Wak Tur berjalan perlahan dan tertatih-tatih. Luka yang terbuka di kakinya belum sembuh, karena diabetes.
"Paman, benar paman ingin dimakamkan di sini?" tanya Wak Ji.
"Uhuk... uhuk..."
Terdengar suara batuk keras. Wak Tur mendekatkan telapak tangan ke mulut. Ada bercak darah keluar. Wak Ji mengambil kain lap. Istri Wak Ji segera menyeduh teh panas.