Ini pasti terjadi dari tahun ke tahun, tanpa melihat hari raya agama apa pun. Bisa antar hari raya agama atau antara hari raya dengan libur akhir pekan.
Adalah baik dan merupakan suatu penghormatan jika kita memberi kesempatan kepada rekan kerja yang sedang merayakan hari raya untuk cuti saat harpitnasnya.
Mereka ingin memperingati hari raya bersama keluarga di kampung. Kita pun suatu saat begitu. Akan dibalas mereka, dengan bolehnya kita cuti waktu harpitnas hari raya kita.
Sampaikan ke atasan jauh-jauh hari
Pekerjaan tidak semua kita tahu. Atasan lebih paham, mana pekerjaan yang langsung didisposisikan ke bawahan, mana yang dapat ditunda mengingat adanya pekerjaan yang lebih mendesak, dan mana pula hal-hal yang berpotensi menjadi pekerjaan.
Perlunya menyampaikan cuti harpitnas jauh-jauh hari kepada atasan agar atasan dapat mempertimbangkan dan mengatur kembali penyelesaian seluruh pekerjaan.
Jangan sampai atasan kelimpungan karena tidak ada orang. Kalau ia menyetujui, boleh jadi beban pekerjaan diberikannya lebih banyak waktu hari-hari sebelum cuti.
Akhir kata...
Cuti merupakan hak pribadi karyawan. Kita boleh menggunakannya dengan alasan beragam dan harapannya masuk akal. Tetapi, alangkah lebih baik jika kita memperhatikan etika waktu mengambilnya, terlebih kala harpitnas.
Bekerja bukanlah sendirian. Ada hubungan antarsesama rekan kerja dan kepada atasan yang harus dipertahankan baik guna mendukung suasana kondusif waktu bekerja.
Kita tidak berharap, bukan? Cuti yang seharusnya dapat dinikmati dan membuat segar pikiran dan hati, berakhir dengan banyak sindiran tidak menyenangkan dan penilaian buruk saat masuk kerja?