Seorang lelaki termenung di atas meja. Matanya melihat sebuah kertas berisi daftar nama pegawai yang hendak mengajukan cuti. Cuti pada hari kerja kali ini begitu banyak yang berminat.
Semua ingin berlibur ke daerah wisata. Mereka merasa tanggung untuk bekerja waktu harpitnas. Lelaki itu masih diam. Ia memilih dan memilah mana yang sebaiknya boleh diizinkan, mana yang tidak.
Harpitnas (hari terjepit nasional) terkadang menyebalkan, terkadang pula menyenangkan. Bekerja pada hari yang diapit dua hari libur sungguh sangat tanggung.
Mari baca: Harpitnas dan Kebiasaan Sebagian Kita Menjalaninya
Aura libur kemarin dan potensi euforia menikmati libur besok begitu memengaruhi semangat kerja. Ingin rasanya hari itu cepat berlalu. Kalau boleh tidak ada. Hahaha....
Sebagian pekerja memutuskan mengambil cuti kala itu. Sebetulnya, semua ingin (kecuali mungkin pekerja workaholic). Rata-rata alasannya sebab melancong ke daerah wisata, yang pelaksanaannya membutuhkan beberapa hari, oleh sebab termakan perjalanan dan penginapan.
Satu dua atasan mungkin bingung dalam memberikan izin. Bagaimana bawahannya bisa serempak begitu mengajukan cuti? Rekan kerja lain pun heran, siapa nanti yang bisa menjamin pekerjaan tim selesai?
Untuk menghindari hal-hal tersebut, berikut etika yang perlu dimengerti oleh pekerja yang hendak mengambil cuti kala harpitnas.
Adakah pekerjaan yang masih menggantung?
Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengecek daftar pekerjaan yang terbaru maupun terlama tetapi belum terselesaikan. Amati benar deadline pengumpulan tugas.
Sebagai karyawan yang ingin dinilai berintegritas dan bertanggung jawab, adalah sebaiknya merampungkan seluruh pekerjaan sebelum mengambil cuti. Cermati pula adakah potensi pekerjaan mendadak yang mungkin timbul kala harpitnas.
Semisal, harpitnas jatuh pada akhir bulan. Masih berpikir kita untuk mengambil cuti? Sudah tentu, akhir bulan adalah salah satu hari sibuk bekerja. Beban pekerjaan menumpuk. Banyak yang harus dilaporkan.
Tengoklah teman yang bisa menggantikan
Lihat rekan kerja di sekitar. Adakah yang bersedia menggantikan kita selama cuti, dengan catatan memiliki kompetensi sama bahkan lebih baik? Tidak dapat dimungkiri, kompetensi tiap-tiap karyawan berbeda-beda.
Ada yang ahli IT. Ada yang jago mengolah data. Ada yang mahir pembukuan. Ada yang pandai melayani pimpinan. Ada yang cakap mengurus klien. Kita cari yang kompetensinya mampu mengerjakan tugas kita.
Tanyalah dulu, apakah ia berkenan melakukannya? Ini menghindari rusaknya hubungan antarrekan kerja. Jangan sampai saat masuk seusai cuti, kita menjadi bahan omongan.
Kapan terakhir ambil cuti?
Kapan terakhir kita ambil cuti? Bisa dilihat pada aplikasi pegawai atau catatan yang kita buat sendiri. Apakah berdekatan dengan cuti harpitnas yang hendak diajukan?
Apakah masih ada sisa cuti yang boleh diambil? Ataukah kita terlalu sering mengambil cuti? Pegawai yang begitu banyak cuti, ada potensi terkena sorotan oleh sesama rekan kerja, atasan, bahkan pihak HRD.
Urgensi alasan cuti semakin dipertimbangkan. Jangan-jangan dibuat-buat hanya untuk melarikan diri dari pekerjaan?
Sebaiknya mengalah waktu harpitnas hari raya
Ini pasti terjadi dari tahun ke tahun, tanpa melihat hari raya agama apa pun. Bisa antar hari raya agama atau antara hari raya dengan libur akhir pekan.
Adalah baik dan merupakan suatu penghormatan jika kita memberi kesempatan kepada rekan kerja yang sedang merayakan hari raya untuk cuti saat harpitnasnya.
Mereka ingin memperingati hari raya bersama keluarga di kampung. Kita pun suatu saat begitu. Akan dibalas mereka, dengan bolehnya kita cuti waktu harpitnas hari raya kita.
Sampaikan ke atasan jauh-jauh hari
Pekerjaan tidak semua kita tahu. Atasan lebih paham, mana pekerjaan yang langsung didisposisikan ke bawahan, mana yang dapat ditunda mengingat adanya pekerjaan yang lebih mendesak, dan mana pula hal-hal yang berpotensi menjadi pekerjaan.
Perlunya menyampaikan cuti harpitnas jauh-jauh hari kepada atasan agar atasan dapat mempertimbangkan dan mengatur kembali penyelesaian seluruh pekerjaan.
Jangan sampai atasan kelimpungan karena tidak ada orang. Kalau ia menyetujui, boleh jadi beban pekerjaan diberikannya lebih banyak waktu hari-hari sebelum cuti.
Akhir kata...
Cuti merupakan hak pribadi karyawan. Kita boleh menggunakannya dengan alasan beragam dan harapannya masuk akal. Tetapi, alangkah lebih baik jika kita memperhatikan etika waktu mengambilnya, terlebih kala harpitnas.
Bekerja bukanlah sendirian. Ada hubungan antarsesama rekan kerja dan kepada atasan yang harus dipertahankan baik guna mendukung suasana kondusif waktu bekerja.
Kita tidak berharap, bukan? Cuti yang seharusnya dapat dinikmati dan membuat segar pikiran dan hati, berakhir dengan banyak sindiran tidak menyenangkan dan penilaian buruk saat masuk kerja?
...
Jakarta
12 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H