Apa kudapan kesukaan Anda selama Lebaran? Selain telah dikenyangkan dengan makanan berat layaknya opor ayam, rendang daging, ketupat Lebaran, sambal goreng hati, dan lainnya, bibir kita serasa belum lengkap jika belum menikmati camilan khas Lebaran.
Ada kue nastar, kue keju, putri salju, kacang-kacangan, dan sebagainya, termasuk rengginang. Masing-masing punya tekstur dan rasa yang berbeda, sehingga lidah kita ingin mengecap semuanya.
Makanan ini dapat menjadi teman yang setia menemani dan tidak membuat kantuk, selama silaturahmi berlangsung dan proses saling memaafkan terjalin hangat. Seolah-olah telah melekat menjadi budaya. Jika Lebaran, sebaiknya ada ini, ini, dan ini.
Rengginang
Rengginang sendiri, sebagian dari kita pasti menyediakan. Penganan berbentuk kerupuk tebal yang terbuat dari beras ketan ini, jika digoreng kering dalam minyak panas, menjadi begitu kriuk saat pecah di dalam mulut. Sensasi kres-kresnya tidak tergantikan.
Agar tergoreng dengan mengembang sempurna, adonan rengginang sebaiknya dijemur di bawah sinar matahari yang panas, untuk menghilangkan kadar air dan membuatnya sekering mungkin. Kudapan ini cocok dimakan sendiri atau disantap bersama makanan berat.
Dalam menyajikannya, kita kebanyakan menggunakan kaleng, baik dari plastik maupun lapisan baja kuning, seperti kaleng Khong Guan. Kaleng Khong Guan yang begitu besar itu, jika isinya telah kosong, dapat digunakan sebagai alternatif tempat menyimpan.
Dalam kaleng itu, ada rengginang yang masih bagus bentuknya. Ada pula yang sudah jelek, berbentuk remah-remah di dasar kaleng. Begitulah hidup kita, juga seperti itu.
Seperti tidak berharga
Remah-remah itu hancur berantakan. Wujudnya tidak jelas, jelek jika dibanding rengginang yang masih utuh. Kurang menarik dan tidak terlihat seketika, selepas membuka kaleng.
Keadaan kita pun begitu. Hancur berantakan karena dosa dan salah. Mereka berdua selalu menuding-nuding kita, menjerumuskan dan membuat seolah-olah -- sesekali memang benar, hidup tidak ada harganya. Sering kali pula kita kalah melawannya.
Banyak berceceran
Remah-remah itu banyak dan berceceran. Puing-puing kecil -- terkadang sampai serpihan, hingga tidak terhitung jumlahnya. Membuat tangan kita kotor jika menyentuhnya.
Dosa dalam kehidupan kita, perbuatan merugikan yang sengaja dan tidak sengaja selama berinteraksi sosial, dan kesalahan berucap lewat perkataan, tidak beda jauh. Kita juga punya banyak. Terserak di mana-mana dan melukai hati orang tanpa sadar.
Masih enak
Bagi sebagian orang, remah-remah itu jika dimakan, masih enak. Tidak ada rasa yang berubah, layaknya rengginang utuh. Tidak heran, ada pula yang menghabiskannya saat lapar mendesak.
Ingat! Sejelek dan seburuk apa pun diri, kita tidak boleh terlalu jauh menghakimi diri. Kita tentu masih punya kelebihan -- barang satu dua, yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan untuk memperbaiki kehidupan dan bagi orang lain. Latihlah dan pekalah dengan itu. Jadikan talenta dan keunikan masing-masing.
Ada di bagian dasar
Remah-remah itu ada di bagian dasar kaleng. Tergeletak, melekat di alas kaleng, menempati posisi terendah, di bawah rengginang-rengginang yang masih utuh di atasnya.
Dalam meminta maaf atas kesalahan, kita juga wajib seperti remah itu. Merendahkan hati sejauh dapat, meletakkan ego dan keakuan serendah-rendahnya, untuk mengajukan permohonan maaf dengan ikhlas. Bukan karena ingin dicap hebat, telah berani meminta maaf. Melainkan, memang tulus dari dasar hati yang terdalam.
Jangan sampai masuk angin
Remah itu pun dijaga dalam kaleng yang tertutup rapat. Ini dengan maksud agar renyah dan gurihnya tetap, sehingga masih lezat untuk dinikmati kapan pun, saat ingin.
Demikianlah, pribadi yang telah terbentuk suci kembali di hari yang fitri, jangan sampai masuk angin lagi. Perbuatan buruk yang sudah dimaafkan, dijanjikan untuk tidak diulangi, lupakanlah benar-benar.Â
Jangan sampai terulang kembali. Omongan tidak boleh berhenti sebatas omongan. Sangat masuk angin sehingga tidak menjelma menjadi perbuatan. Ke depan, wajib berubah dan semakin baik lagi.
Itulah, filosofi remah-remah rengginang. Bersama tulisan ini, dengan tulus saya mengucapkan:
"Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1442 H",
kepada seluruh pembaca, umat Muslim yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin.Â
Sekaligus, selamat memperingati kenaikan Isa Almasih, 13 Mei 2021, bagi saudara Kristen dan Katolik semua. Oh, tiada lagi yang lebih indah dalam hidup bersama di dunia ini, selain kerukunan dalam persaudaraan.
Kiranya kita semua sehat selalu dan terus dalam perlindungan Yang Maha Kuasa. Amin.
...
Jakarta
13 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H