Hai Diari, saya ingin bercerita.
Ini kisah lampau tetapi masih lekat benar di benak. Dahulu, saya pernah makan semangkuk mi ayam bersama teman. Seperti kebanyakan menu, tersaji mi kuning, suwiran ayam, potongan sawi, bawang goreng, kuah kaldu, bersama kecap dan sambal.
Tidak ada yang spesial. Saya jamin Anda sering menemukan. Ketika makan mi, saya menangis. Entah, teman saya menyadari atau tidak, air mata saya mengalir membasahi pipi, turun, dan menetes ke kuah kaldu.
Apakah karena mi ayamnya tidak enak? Tidak. Rasanya begitu lezat. Itu salah satu warung mi ayam terkenal di sekitar kediaman saya. Apakah karena pelayanan pemilik warung tidak ramah, sehingga begitu mengganggu? Tidak juga. Warungnya ramai, banyak pengunjung. Kami berdesakan dan mengantre.
Pikiran saya melayang ke para gelandangan di jalanan. Apakah mereka sudah makan ya hari ini? Apakah mereka punya uang untuk beli makanan? Apakah mereka pernah menikmati mi ayam?
Seketika air mata saya jatuh menderas. Ada rasa haru menggemuruh dalam dada. Saya memandang diri saya begitu beruntung dan jauh lebih baik dari mereka. Saya masih diberi makan Tuhan dengan keadaan layak.
Seketika setelah berdoa, saya nikmati dengan lahap dan penuh ucapan syukur. Kelezatan makan yang saya peroleh tidak sekadar dari rasa mi ayam, tidak pula dari keramahan pemilik warung, atau tambahan canda tawa teman.Â
Tetapi, lebih besar berasal dari keadaan saya yang masih bisa makan detik itu. Pernahkah kita berpikir, bagaimana bila tidak ada yang bisa dimakan, seperti para gelandangan itu?
Saat lain, terjadi pula hal sama. Kali ini saya tidak menangis. Tetapi, berusaha memaknai pekerjaan rutin yang saya lakukan setiap hari. Menyapu seisi rumah.
Rumah saya di desa cukup luas. Ada tiga kamar, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan bergabung dengan dapur. Belum terhitung halaman dan teras rumah beserta garasi.
Tentu, ketika kita mengerjakan rutinitas, ada potensi bosan terjadi. Itu lagi itu lagi. Terkadang saya juga malas dan membiarkan begitu saja, sehingga mau tidak mau Mama saya yang menyapu.
Lama-kelamaan, saya tidak tega. Dan saya salah memang, itu sudah tugas saya. Akhirnya saya berpikir, apa manfaat dari menyapu? Jawaban-jawaban bermunculan.
Dengan kotoran tersapu bersih, lantai yang berubin putih terlihat kinclong dan bening, sehingga enak dipandang mata. Lalu, bersih juga membuat tubuh terhindar dari penyakit, karena kuman-kuman yang menempel dan bersarang di lantai dan bawah tempat tidur hilang.Â
Badan pun menjadi sehat, sebab bergerak dan keluar keringat. Terhitung olahraga kecil yang membakar kalori. Saya ternilai sebagai anak yang patuh dan dengar-dengaran oleh orangtua. Termasuk juga dengan menyapu, saya telah membantu meringankan pekerjaan rumah Mama saya.
Saya memaknai kegiatan menyapu, yang sepele itu, dengan empat hal itu. Seketika, menyapu bukan sekadar rutinitas lagi. Tetapi, suatu pekerjaan besar yang berpotensi membawa manfaat begitu banyak, baik kepada saya maupun keluarga. Karena itu, saya bertahan untuk terus menyapu. Saya buang rasa malas.
Belajar memaknai hal kecil
Dari kedua peristiwa itu, yang tentu adalah hal kecil, biasa, dan rutin, saya berpikir jauh dan luas dalam memaknainya. Beragam alasan saya peroleh, dan membuat makan dan menyapu menjadi hal yang begitu berarti bagi saya. Kebiasaan memaknai hal kecil masih terus saya lakukan sampai sekarang. Ini memang sangat bermanfaat.
Menambah semangat
Ketika tahu bahwa banyak manfaat yang diperoleh dari menyapu, dan sedari kecil saya diajarkan untuk terus menjadi berkat, saya rasa menyapu adalah salah satu jalan menjadi berkat. Saya menjadi bersemangat, karena seperti diperlihatkan bahwa menjadi berkat tidak harus dari hal-hal yang besar dan hebat.
Kendati manfaat itu tidak terlihat, tetapi begitu berharga jika dirasakan. Semua pasti setuju, sehat adalah harta tidak ternilai. Bisa menjadi terlalu mahal ketika masuk rumah sakit.
Menghindari kebosanan
Seperti diulas di atas, kita sering mencari penyebab mengapa harus melakukan ini dan itu setiap hari. Jika alasannya itu-itu saja, tanpa berkembang, bisa memicu kejenuhan. Kita layaknya robot yang tiada hati.
Tetapi, bila ditemukan penyebab lain yang lebih berarti, rutinitas menjadi tidak menjemukan. Saya menyapu karena dengan begitu, kehadiran saya menjadi bermanfaat. Sebuah motivasi yang menghilangkan kebosanan.
Melengkapi sukacita
Ucapan syukur saya karena masih bisa makan saat itu betul-betul menambah kelezatan mi ayam. Tidak hanya lidah yang bergembira. Perasaan dalam hati, masih diberi Tuhan makan detik itu, dengan menu yang lebih beruntung daripada para gelandangan yang saya bayangkan, melipatgandakan sukacita makan.
Menghargai waktu
Terakhir, dengan memaknai hal kecil, saya belajar menghargai waktu setiap saat untuk sebisa mungkin menyelesaikan hal yang bermanfaat. Seperti menyapu, sepele, tetapi dengan mengerjakan itu, saya menghabiskan waktu untuk hal berguna.
Waktu tidak pernah kembali. Jika kita lewati dan buang untuk hal sia-sia, terkadang rasa penyesalan datang. Lalu, kita akan menyalahkan diri sendiri. Ini bisa dikurangi dengan memaknai hal-hal kecil.
Saya begitu bersukacita, karena dengan memaknai hal-hal kecil lebih dalam, saya berhasil beroleh semangat, melawan rasa bosan, dan menghargai waktu yang ada.
Begitulah diari, cerita saya. Kebiasaan yang terus saya bawa hingga sekarang. Saya bersyukur sampai detik ini, masih sehat, masih bisa makan, masih bisa memberikan sumbangsih pemikiran lewat Kompasiana.
...
Jakarta
4 April 2021
Sang Babu Rakyat