Ada semangkuk tongseng lidah pembunuh, ada sepiring gorengan lidah penipu, dan ada sambal lidah perayu. Kami menikmatinya dengan sepiring nasi hangat, sebotol kecap, dan sambal terasi. Sekejap, piring dan mangkuk kami licin tandas.
Lelaki tua itu masih menemani kami makan. Mukanya mendadak kusam. Dia kembali tidak bersemangat seperti pertama kami menjumpainya. Setelah makan, kami mengobrol dengannya.
"Kenapa Bapak tidak semangat? Ada masalah, Pak?"
Lelaki tua itu mendeham.
"Begini, Pak. Sebetulnya kami tidak sekadar pegawai restoran. Kami pemburu kejahatan."
Saya terkesiap. Apakah ini arti misi itu?
"Lantas, apa yang membuat Bapak lemas? Ayo, semangat, Pak!"
"Begitulah, Pak. Kami sudah terus memburu para penjahat. Lidah-lidah mereka kami potong, supaya mereka jera. Agar mereka tidak bisa berbicara dengan sesama penjahat. Tetapi, tetap saja, jumlah para penipu, pembunuh, dan perayu masih banyak."Â
"Kami sudah terlalu capek, mereka tidak berubah. Bahkan, beberapa kami habisi nyawanya. Terlalu banyak mereka beredar. Semakin kami berantas, ada saja pengikut mereka yang terus bertambah."Â
"Pengikut-pengikut itu sudah buta, tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Mereka termakan hasutan lidah-lidah bangsat itu. Semangat kami mulai pudar. Tidak ada lagi kesenangan mengenyahkan mereka dari muka bumi. Kami sempat merasa sia-sia. Mengapa kejahatan ada dan tetap ada? Kami sudah bosan."
Saya terus mendengarkannya dengan tenang.