"Ada beberapa yang bunuh diri karena termakan omongannya. Mereka percaya, mereka tidak berguna. Mereka percaya, mereka tidak bisa apa-apa. Buat apa hidup kalau begitu?"
Saya menghela napas.
"Wah, jahat sekali orang itu. Tidak boleh seperti itu. Semangat adalah dasar orang untuk hidup. Bila sudah dipatahkan, ya begitu, gampang orang putus asa. Kita harus hadir menyemangati orang-orang, Pak."
Lelaki tua itu tersenyum. Dia seperti terpukau. Mungkin belum ada orang seperti saya yang datang ke restorannya.
Malam semakin larut. Terdengar desau angin. Udara begitu dingin. Beberapa toko di dekat restoran sudah tutup. Masih ada orang yang mengantre membeli.
"Atau, Bapak mau yang ini?" Lelaki tua itu mengambil sebuah lidah. Berwarna merah muda menyala, begitu segar dan menggairahkan.
"Kalau ini, lidah perayu, Pak. Yang punya suka merayu wanita. Banyak yang sudah ditidurinya. Banyak yang setelah diperkosa, ditinggalkan begitu saja. Perempuan-perempuan paling benci dengan orang berlidah ini, Pak."
"Bukan perempuan saja, Pak. Saya juga sebagai laki-laki benci. Perempuan wajib dihormati, wajib pula disemangati," kata saya.
Lelaki tua itu semakin tersenyum. Matanya yang dari awal sinarnya terus meredup, perlahan berbinar-binar. Apa energi positif saya tertular padanya?
"Kamu memang perlu datang ke sini, sahabatku. Mereka sedang butuh semangat," tukas sahabat saya.
"Apa jadinya, Pak, kalau kami makan lidah-lidah itu? Apa kami akan menjadi seperti mereka, yang punya lidah itu?" Saya tiba-tiba penasaran.