"Anak siapa ini? Anak siapa ini? Duh gantengnya," dengan bangga dia berbicara sambil tertawa-tawa.
Apa Ibu sudah pikun? Di usianya yang belum banyak keriput itu, apa Ibu gampang lupa? Bahkan, mengapa Ibu bangga kalau dia lupa? Bagaimana bisa dia tidak tahu bahwa saya anaknya?Â
Saya lahir dari guanya, yang saya lihat terus saja dicari-cari bapak setiap malam. Ketika saya hendak memejamkan mata di sebuah kotak kecil di sudut kamar, saya amati benar peristiwa itu. Bapak mungkin mengira saya sudah tidur, lalu dengan tanpa malu dia membuka celana Ibu dan mencari gua itu. Mengapa pula bapak selalu suka gua itu?
Ingin sekali saya menyampaikan ketidaksukaan saya atas perilaku Ibu. Ingin sekali saya, Ibu mengerti dan tidak lagi mengendusi ketek dan kaki saya. Ingin sekali saya, Ibu menyebut dan mengakui saya adalah anaknya di depan para tetangga.Â
Tetapi apalah daya, setiap saya berkata, hendak mengeluarkan semua keberatan, lidah saya hanya bisa berucap, "Maaaaaa....Paaaaa...Ma.....Paaa.....", dalam suara yang belum begitu jelas dan selalu ditanggapi Ibu dengan nada gembira.
"Bagus Nak, kamu sudah bisa ngomong sekarang."
Bagus apanya? Saya itu cuma mau memberitahu Ibu agar tidak mengulangi hal aneh itu lagi. Saya tidak mau Ibu gampang pikun sejak muda. Ibu malah tertawa.
Namun, kekesalan saya akhirnya saya relakan pergi begitu saja, ketika melihat Ibu selalu rajin membersihkan kotoran saya seusai saya selesai makan. Lalu, ia akan menyeduh air panas, menaruh beberapa sendok susu, mengaduknya, dan menuangkannya pada sebuah botol kecil dengan ujung yang begitu kenyal seperti milik Ibu, dan menyuruh saya minum sambil Ibu bersenandung sebuah lagu yang saya suka dan selalu berhasil mengantar saya menuju alam mimpi.
Saya juga kagum dengan kekuatan Ibu. Dia begitu hebat, masih bisa memerhatikan saya begitu cermat, di tengah pekerjaannya yang begitu banyak membersihkan rumah. Mulai mencuci baju, memasak, menyapu dan mengepel rumah, menyiram tanaman, semua ibu lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, seperti tetangga saya.
Seandainya bapak tahu apa yang sudah dikerjakan Ibu sepanjang hari, saya yakin bapak tidak akan tega memarahinya dan dengan bangga berkata bahwa dia telah capek bekerja seharian. Apa bapak tidak tahu Ibu juga capek? Saya yakin bapak juga belum tentu kuat mengerjakan semua pekerjaan Ibu di rumah yang sangat sederhana dan begitu gerah ini. Bapak kan terbiasa bekerja di ruangan ber-AC.
Karena itu semua, saya mulai anggap wajar kelakuan aneh Ibu. Di samping perilaku aneh Ibu yang begitu menjengkelkan, jerih lelahnya membesarkan saya, begitu besar cinta dan kesabarannya mengajari saya berjalan, mampu meredam ketidaksukaan saya.Â