Saya tidak tahu sejak kapan Ibu melakukan perbuatan aneh itu. Saya hanya tahu sejak saya sadar orang di depan saya akhir-akhir ini adalah Ibu, wanita yang bersusah payah melahirkan saya, berteriak begitu kencang sampai-sampai kaca jendela ruangan operasi bergetar dan beberapa wanita berpakaian biru dan bersarung tangan putih begitu lelah menenangkannya.
Jujur, saya begitu tidak suka dengan kelakuan aneh Ibu. Entah, siapa yang mengajarinya? Untuk apa dia melakukannya? Apa yang ada di pikirannya, sehingga bisa-bisanya dia bilang ketek saya baunya enak, lalu dia menciuminya berulang-ulang, hingga terkadang hidungnya dia jejalkan terus-menerus, dan saya pun mau tidak mau tersenyum dan berakhir tertawa karena begitu geli merasakan beberapa bulu hidungnya yang keriting itu menyentuh permukaan kulit ketek saya.
Kebiasaan itu pertama kali Ibu lakukan setiap malam, menjelang pergantian hari, pada saat saya kerap terbangun dan menangis. Namun, sekarang mengapa begitu sering dia lakukan? Mau pagi, siang, malam, mau saya melihat tv atau tertidur, selalu saja Ibu menempelkan hidungnya dan terus membaui ketek saya, baik kiri maupun kanan.
Apakah ketek saya mengandung sesuatu yang memabukkan, sehingga Ibu kerap ketagihan? Apakah ketek saya baunya begitu memikat? Apakah ketek saya seperti bau cokelat, layaknya parfum yang selalu Ibu semprotkan di kamar saya--saya jamin pasti Ibu suka cokelat, karena saya lihat parfum berwangi cokelat itu tidak pernah sekalipun digantinya.
"Ketek siapa sih nih? Ketek siapa sih nih? Harum banget baunya," kata Ibu yang jelas terdengar di telinga saya, ketika hidungnya tidak berhenti terus mendesak-desak kedua ketek saya.
Jujur, atas perbuatan itu, saya tertawa bukan karena suka. Ibu malah tertawa melihat saya tertawa. Apakah dia mengira saya suka diperlakukan seperti itu? Apabila saya tidak terkencing-kencing, pasti Ibu tidak berhenti melakukannya dan mungkin saya akan mati karena tertawa.
Mana ada ketek berbau harum? Saya berani jamin tidak pernah ada. Pernah suatu ketika saya mencium ketek Ibu, ketika Ibu sedang berbincang dengan tetangganya dan dia mendekap saya dengan selendang cokelat yang diikat pada pundaknya, begitu kencang sehingga saya tidak bisa bergerak, badan saya bersentuhan lekat dengan dadanya, dan kepala saya tepat berada di depan keteknya.
Tidak berapa lama, dalam ayunan badannya ke kanan ke kiri, saya langsung tertidur. Bagaimana tidak? Itu begitu memabukkan, membuat kepala saya pusing. Ketek ibu bau apek.Â
Ditambah lagi goyangannya yang semakin kencang, membuat saya jatuh pingsan. Setengah sadar malah saya dengar Ibu berbicara sesuatu yang sulit saya percayai: "Anak pintar..anak pintar...tidurlah anak pintar...mimpi indah ya Nak." Ibu mengira saya tertidur, padahal saya pingsan. Apa Ibu tidak sadar keteknya bau apek?
Selain ketek, telapak kaki saya pun suka sekali Ibu ciumi. Entah, aroma apa yang tercium dari kaki saya, sehingga hidung Ibu begitu betah berada di ujung jempol kaki saya, dia sentuh-sentuhkan, dan terjadi lagi bulu hidungnya keluar membuat saya tertawa kegelian. Apakah kaki saya juga begitu memikat seperti ketek saya?
Belum lagi kelakuan Ibu yang satu ini. Ketika dia mengajak saya bermain keluar rumah, bertemu dengan tetangga sebelah, yang juga menggendong anak kecil seumuran saya--tepatnya satu tahun, Ibu akan selalu mencubit pipi saya yang gemuk itu dan berkata sesuatu yang sampai sekarang saya heran, bisa-bisanya terjadi pada umurnya yang masih muda itu.
"Anak siapa ini? Anak siapa ini? Duh gantengnya," dengan bangga dia berbicara sambil tertawa-tawa.
Apa Ibu sudah pikun? Di usianya yang belum banyak keriput itu, apa Ibu gampang lupa? Bahkan, mengapa Ibu bangga kalau dia lupa? Bagaimana bisa dia tidak tahu bahwa saya anaknya?Â
Saya lahir dari guanya, yang saya lihat terus saja dicari-cari bapak setiap malam. Ketika saya hendak memejamkan mata di sebuah kotak kecil di sudut kamar, saya amati benar peristiwa itu. Bapak mungkin mengira saya sudah tidur, lalu dengan tanpa malu dia membuka celana Ibu dan mencari gua itu. Mengapa pula bapak selalu suka gua itu?
Ingin sekali saya menyampaikan ketidaksukaan saya atas perilaku Ibu. Ingin sekali saya, Ibu mengerti dan tidak lagi mengendusi ketek dan kaki saya. Ingin sekali saya, Ibu menyebut dan mengakui saya adalah anaknya di depan para tetangga.Â
Tetapi apalah daya, setiap saya berkata, hendak mengeluarkan semua keberatan, lidah saya hanya bisa berucap, "Maaaaaa....Paaaaa...Ma.....Paaa.....", dalam suara yang belum begitu jelas dan selalu ditanggapi Ibu dengan nada gembira.
"Bagus Nak, kamu sudah bisa ngomong sekarang."
Bagus apanya? Saya itu cuma mau memberitahu Ibu agar tidak mengulangi hal aneh itu lagi. Saya tidak mau Ibu gampang pikun sejak muda. Ibu malah tertawa.
Namun, kekesalan saya akhirnya saya relakan pergi begitu saja, ketika melihat Ibu selalu rajin membersihkan kotoran saya seusai saya selesai makan. Lalu, ia akan menyeduh air panas, menaruh beberapa sendok susu, mengaduknya, dan menuangkannya pada sebuah botol kecil dengan ujung yang begitu kenyal seperti milik Ibu, dan menyuruh saya minum sambil Ibu bersenandung sebuah lagu yang saya suka dan selalu berhasil mengantar saya menuju alam mimpi.
Saya juga kagum dengan kekuatan Ibu. Dia begitu hebat, masih bisa memerhatikan saya begitu cermat, di tengah pekerjaannya yang begitu banyak membersihkan rumah. Mulai mencuci baju, memasak, menyapu dan mengepel rumah, menyiram tanaman, semua ibu lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, seperti tetangga saya.
Seandainya bapak tahu apa yang sudah dikerjakan Ibu sepanjang hari, saya yakin bapak tidak akan tega memarahinya dan dengan bangga berkata bahwa dia telah capek bekerja seharian. Apa bapak tidak tahu Ibu juga capek? Saya yakin bapak juga belum tentu kuat mengerjakan semua pekerjaan Ibu di rumah yang sangat sederhana dan begitu gerah ini. Bapak kan terbiasa bekerja di ruangan ber-AC.
Karena itu semua, saya mulai anggap wajar kelakuan aneh Ibu. Di samping perilaku aneh Ibu yang begitu menjengkelkan, jerih lelahnya membesarkan saya, begitu besar cinta dan kesabarannya mengajari saya berjalan, mampu meredam ketidaksukaan saya.Â
Saya mulai menyukai Ibu. Satu-satunya wanita yang selalu hadir untuk saya, tanpa memandang waktu, dan merelakan dirinya begitu saja melakukan segala sesuatu demi kebahagiaan saya. Saya heran betapa ajaibnya bisa muncul sosok yang begitu sempurna kasihnya, sampai-sampai mungkin seumur hidup saya tidak akan mampu membalasnya.
Tetapi, tetap saja, saat sudah besar, ketika saya bisa berkata dengan jelas, saya akan bilang ketek Ibu itu begitu apek. Saya tidak mau nanti bila muncul bayi yang menjadi adik saya, dia mengalami peristiwa yang sama dengan saya. Pingsan di keteknya.
Setidaknya Ibu pakai deodoran lah.
...
Jakarta
25 Maret 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H