Waktu yang dinanti tiba. Saya sudah selesai kuliah dan sekarang saatnya pulang ke rumah. Saya rindu bertemu Bapak. Saya rindu melihat seberapa rimbun rambut Bapak. Saya rindu mengambil kutu-kutu di antara helai rambutnya dan mematikannya. Dan saya janji, tidak akan mencabuti uban-ubannya. Saya rasa, rambut putih memang harus dimiliki orang yang semakin tua. Bahkan ada yang bilang itu mahkota.
Banyak pertanyaan dalam benak saya tentang rambut Bapak. Selama sepuluh tahun kuliah di luar negeri sampai bergelar doktor, selama saya berkomunikasi dengan Bapak hanya melalui telepon--Bapak tidak bisa datang keluar negeri ketika wisuda saya karena keterbatasan biaya, saya tidak pernah sekalipun tahu pasti bagaimana keadaan rambut Bapak. Bapak selalu mengenakan topi. Saya tidak enak memintanya membuka topi, takut-takut ia tersinggung dan malah berpikir, malah nanti mungkin gara-gara itu salah satu rambutnya menjadi putih.
Saya sengaja menyimpan semua rasa penasaran untuk hari ini. Saya memang suka melihat segala sesuatu secara langsung, sendiri, dengan mata kepala saya. Saya tidak suka dan tidak mudah percaya dengan apa yang namanya "kata orang".
Selepas turun dari pesawat, saya melihat Bapak sudah berdiri di pintu bandara. Badannya sedikit membungkuk. Wajahnya mulai keriput. Dia tetap memakai topi. Apakah Bapak malu memperlihatkan rambutnya di depan banyak orang? Apakah dua puluh ribu helai rambut Bapak sudah berkurang?Â
Saya langsung berlari memeluk Bapak. Tanpa berkata-kata, air mata kerinduan membasahi baju saya. Bapak pun menangis terisak-isak. Semoga karena kerinduan, bukan karena betapa berat masalahnya. Apalagi, betapa dalam dia memikirkan bagaimana kondisi rambutnya.
"Anggara, Bapak kangen. Kamu sudah doktor sekarang ya. Selamat!"
"Terima kasih, Pak!"
Kami berdua beranjak ke salah satu restoran di bandara.
"Klintingggg..."
Terdengar suara benda jatuh. Telepon seluler Bapak lepas dari genggaman. Bapak menunduk dan mengambilnya. Tiba-tiba angin kencang begitu saja lewat. Angin itu menghempaskan topi Bapak, sehingga rambutnya terlihat jelas.
Saya takjub. Rambut Bapak semakin lebat. Begitu lebat, lebih lebat daripada terakhir saya tinggalkan. Rambutnya terkuncir ke atas, begitu hitam, tanpa sedikit pun uban.Â