Bapak memijat-mijat dahinya.
Bapak memang gampang sekali mikir. Sedikit-sedikit mikir. Bila motor tidak berhasil dia jual, dia mikir. Bila dia tidak membawa uang ke rumah, dia mikir. Bila anak-anaknya belum juga menikah, dia mikir.Â
Setiap pikirannya yang mungkin seharusnya tidak terlalu dalam dipikirkan, akan membuat satu demi satu rambutnya memutih, seakan-akan energi dari rambutnya itu terserap untuk berpikir. Atau, Bapak salah makan sehingga rambutnya tidak memperoleh nutrisi lalu gampang rusak dan rontok? Itu pun Bapak pikirkan. Apa Bapak termasuk overthinking?
"Sudahlah Pak, tidak perlu dipikir. Bapak doakan saja, supaya ibu sembuh. Mungkin karena sakit, ibu jadi suka ngomel. Bapak kan tahu, orang yang sakit gampang marah."
Bapak tidak menjawab.Â
"Tolong yang sebelah sini, Nak. Garuk dulu di situ," Bapak memegang kepalanya sebelah kiri. Seperti tidak tahan karena gatal.
"Bapak malah pengen Nak, ibumu cepat mati saja."
"Hush, Bapak tidak boleh ngomong begitu. Hidup mati di tangan Yang Kuasa. Bagaimana pun ibu sudah menemani Bapak sejauh ini," saya menasihati Bapak. Meskipun saya belum berumah tangga, saya belajar memberitahunya yang terbaik yang harus dilakukan. Itu Bapak saya, saya tidak mau Bapak terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan.
Oh iya, setiap kali saya mencabut uban dan mencari kutu, saya selalu sempatkan menghitung jumlah helai rambut Bapak. Itu saya lakukan untuk menghindari dan membuang rasa kantuk. Apalagi kalau angin sore sudah datang, bila saya tidak berhitung, hanya beberapa detik setelah memegang kepala Bapak, saya pasti tertidur.
Waktu kecil, rambut Bapak saya hitung delapan puluh ribu helai. Entah kamu percaya atau tidak, saya menghitungnya satu demi satu, bagian demi bagian, dari hari ke hari. Saya ingat betul mana rambut yang sudah terhitung, mana yang belum. Uban saya keluarkan dalam hitungan, karena secara tidak langsung ketika saya mencabutnya, itu sudah menjadi pengurang jumlah rambut Bapak.
Sebelum saya pergi keluar negeri dan setelah memakamkan ibu yang tidak kuat lagi menahan penyakit kanker payudaranya, saya hitung rambut Bapak tinggal dua puluh ribu helai. Itu selalu saya ingat dan tentu saya berharap tidak semakin berkurang, seiring pertambahan usianya yang semakin banyak.Â