Saya ceritakan kisah ini kepada istri saya. Saya pikir ia akan simpati dan mungkin mengirimkan kue enak buatan tangannya itu ke Mari Salaman, sebagai bentuk sambutan hangat. Tetapi, ia hanya cemberut. Menekuk muka seolah-olah mengabaikan ucapan saya. Sungguh berbeda dengan Mari Salaman dan anaknya yang selalu tersenyum.
Kehadiran Mari Salaman dan kedua anaknya di desa kami sungguh memberi dampak baik. Sebagai orang baru, sehari setelah selesai benar ia merapikan seluruh barangnya, ia mendatangi rumah warga satu demi satu.Â
Disalaminya mereka dengan begitu ramah dan warga sepertinya membalas pula salamannya. Terbukti, ketika pertemuan seluruh warga di balai desa, para warga tidak sungkan saling bersalaman, meniru kebiasaan Mari Salaman. Walaupun membungkukkan badan tetap dilakukan.
Anak-anak Mari Salaman, Mari Tersenyum dan Mari Tertawa, mudah berbaur dengan anak-anak warga. Mereka bermain-main di halaman balai desa, sambil tersenyum kegirangan dan tertawa terbahak-bahak.Â
Ketika temannya jatuh, mereka tersenyum. Ketika temannya diejek, mereka tertawa. Ya begitulah, betapa indahnya kehidupan anak-anak yang mudah bahagia tanpa membawa perasaan, tidak seperti orang dewasa. Hanya tertawaan dan senyuman yang menyelimuti hidup kedua anak itu. Sepertinya mereka mulai lupa akan derita kehilangan ibunya.
Para bapak, termasuk saya dan Mari Salaman menggelar rapat pertemuan membahas program dan kegiatan desa ke depan. Beberapa ibu saling berbincang di salah satu ruang. Sesekali terdengar gelak tawa ibu-ibu yang entah membicarakan apa. Ibu-ibu kalau sudah ngomong memang selalu asyik. Namun, istri saya tetap saja cemberut. Sepulang rapat, ia masih menekuk muka.
"Senyum dong Bu," kata saya sesampainya di rumah sembari tersenyum.
Ia tidak menjawab.
"Kenapa Bu?"
"Sini, mana dompetmu!"
"Buat apa?"