Mukanya hitam. Saya taksir umurnya sekitar empat puluh tahun. Rambutnya sedikit putih. Namun, giginya yang bertumpuk itu begitu putih bersih dan mengilat, sehingga ketika tersenyum lebar, sinar matahari yang begitu terang serasa terpantul membuat giginya bersinar begitu silau, sampai-sampai saya mengerjapkan mata berulang-ulang.
"Maaf, tadi siapa nama Bapak?"
"Mari Salaman, Pak. Mari Salaman."
Saya lekas-lekas menutup mulut dengan tangan. Sedikit tawa kecil tanpa suara timbul begitu saja.Â
"Ehem..ehem.... Oh... Pak Mari Salaman ya, salam kenal. Saya Sulepret."Â
Sebagai bentuk penebusan dosa karena saya telah mentertawakan namanya, saya sodorkan tangan meniru kebiasaannya saat mengenalkan diri. Dalam sekejap, tangan saya langsung disambarnya. Dia jabat erat-erat.
Mari Salaman tinggal mengontrak di sebelah rumah saya. Katanya, dulu rumahnya hanyut tersapu banjir. Tembok-tembok rumahnya hancur berantakan. Barang-barangnya hilang. Istrinya turut hilang.Â
Sampai ia pindah bersama kedua anak kembarnya ke sini setelah tinggal selama empat tahun di rumah orangtuanya-ia tidak enak terus merepotkan orangtuanya karena anaknya semakin besar, istrinya belum juga ditemukan. Barang-barang pindahan yang memenuhi rumah barunya ini semuanya adalah barang baru, pemberian orangtuanya, sebagai bentuk penghiburan untuk dukanya.
Anehnya, setiap saya bercakap dengannya, tidak sekalipun tampak raut wajah menyedihkan dari seorang suami yang kehilangan istri. Apakah orangtuanya berhasil menghapus pilunya? Atau, ia sudah tidak mencintai istrinya, sehingga kehilangannya dianggap lalu begitu saja? Atau, ia hanya berpura-pura kuat, agar tetap tegar terlihat di depan kedua anak perempuannya yang masih empat tahun itu?
"Kesedihan tidak boleh berlama-lama, Pak. Hidup harus terus berjalan. Bila saya sedih, kasihan kedua anak saya," katanya di akhir curhat malam itu di tengah barang-barangnya yang masih berantakan.Â
Ia sengaja mengajak saya masuk rumahnya. Mungkin tidak enak karena saya telah sedikit membantunya menurunkan barang-barang dari truk, segelas teh, beberapa potong pisang goreng yang dibeli dari warung sebelah, dan sebungkus rokok dia sajikan di meja ruang tamunya.