Namanya Mari Salaman. Ketika mendengarnya, saya hampir tidak percaya. Betulkah itu nama orang? Betapa lucu namanya. Apakah orangtuanya sengaja menamainya seperti itu, atau itu sekadar julukan dari orang-orang, atau nama panggilan yang dibuat-buatnya sendiri?
Nama itu pertama kali ia sebut setelah selesai menurunkan barang-barang pindahannya yang begitu banyak sehingga perlu diangkut satu truk besar selama lima kali perjalanan pergi pulang, dari tempat tinggal asalnya ke rumah di sebelah saya.
"Perkenalkan Pak, nama saya Mari Salaman," katanya sambil menundukkan kepala. Ia menyodorkan tangan kanannya. Saya membalas dengan membungkukkan badan. Seketika ia tarik kembali tangannya.
"Maaf Pak, apa ada yang salah?" ia bertanya. Sepertinya agak tersinggung, karena tangan yang disodorkannya saya biarkan begitu saja.
"Oh, tidak ada yang salah, Pak."
Di desa kami, kebiasaan untuk menghormati orang terwujud dengan membungkukkan badan. Tidak bersalaman. Oleh karena itu, saya agak aneh, mengapa ia menyodorkan tangannya tadi.
"Oh begitu Pak. Saya kira Bapak tidak menyalami saya karena Bapak marah. Di desa saya dulu, kami selalu bersalaman ketika pertama kali mengenalkan diri."
Saya mengambil napas panjang. Lalu, saya membalikkan badan.
"Aheeeenngg..."
Terdengar suara bersin-bersin.
"Maaf ya, Pak," saya menggaruk-garuk hidung. Bau minyak wanginya yang bercampur dengan keringat begitu menyengat. Kaos hitamnya basah kuyup, seperti menyerap hawa panas yang sedang puncak-puncaknya, ditambah hasil olahraganya mengangkat-angkat perabotan rumah tangganya. Saya pikir seharusnya ia mandi dulu sebelum mendatangi saya.