Bapak terdiam. Wibawanya sebagai orang tua dan benar-benar tua sudah tidak ada lagi.
Kian hari, Bapak kian sering mendekam dalam kamar. Keluar kamar hanya untuk menonton tv dan makan. Badannya terus membengkak. Kakinya terlihat kecil menopang lemak-lemak yang bergelambir di perutnya.
Bapak mengalami kebosanan yang sangat parah. Dia mulai kehilangan satu demi satu kesenangan dari aktivitasnya. Hidup di rumah megah, miliknya sendiri, serasa di penjara. Apa karena tua tidak boleh berbuat apa-apa? Apa karena tidak ada tenaga jadi dipandang tidak berwibawa sehingga tidak dihormati? Apa kebebasan sungguh terkekang ketika menua?
Semua pertanyaan itu terus dipikirkannya. Suatu malam, akhirnya Bapak tidak kuat. Dia terkena struk dan meninggal di dalam kamar. Kami tidak ada yang tahu.
Keesokan pagi, ketika penguburan Bapak, saya berkata pada kakak saya: “Gara-gara kakak, Bapak jadi cepat mati!”
“Wajarlah Bapak meninggal. Memang sudah tua umurnya. Siapa lagi yang bisa menghindar bila waktunya tiba,” jawabnya.
Ingin rasanya saya tutup telinga rapat-rapat. Lalu, saya jahit mulutnya. Cih!
...
Jakarta
22 Februari 2021
Sang Babu Rakyat