Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pembantu Pocokan

19 Februari 2021   23:56 Diperbarui: 20 Februari 2021   01:04 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: palapanews.com

Langit belum juga terang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Awan-awan hitam pekat enggan beranjak dari depan sang surya. Genangan air setinggi mata kaki bekas hujan lebat tengah malam kemarin masih terpantau di beberapa sudut jalan.

Pada sebuah rumah, bergeletakan mangkuk-mangkuk kotor tertumpuk memenuhi tempat cuci piring. Sisa-sisa daging dan mi goreng yang tidak habis termakan menyumbat lubang pembuangan. Kursi-kursi bakso berantakan, karpet hitam berbulu masih tergelar dan terasa lembap sedikit berbau, tertumpah air dari beberapa botol plastik air mineral yang tutupnya separuh terbuka dan berserakan begitu saja.

Seseorang membuka pintu.

"Maaf lho Yu, hari ini lebih awal dari biasanya," kata seorang wanita bertubuh tambun. Wanita itu masih mengenakan piama biru. Mukanya bengkak kebanyakan makan mi semalam.

"Gak papa Bu. Sudah tugas saya ini," jawab perempuan muda berkemeja merah di depannya.

"Oh iya, untuk hari ini, nanti saya hitung ganda ya bayarannya. Soalnya semalam si kecil sunatan, jadinya syukuran deh. Maaf lho Yu, kalau rumah berantakan banget."

"Gak papa Bu. Gak papa."

Perempuan muda itu lekas-lekas melepas sepatu, melangkah ke dapur dan menuju kamar mandi. Tangan kanannya meraih daster dari dalam tas punggungnya, sementara tangan kiri membuka perlahan kemeja merah dan celana jinnya. Dalam beberapa detik, seusai memakai celemek yang tergantung di sebelah kulkas dan sapu lidi yang dia selipkan di pinggang, dia siap mencari uang.

Satu demi satu pekerjaan dilakukan. Dengan begitu terampil, berbekal busa dan sabut kelapa di tangan, dia membersihkan noda-noda cokelat yang tertempel dan mulai mengeras di pinggir mangkuk. Kuku-kukunya sudah berubah warna, menjadi hitam dan sedikit busuk karena begitu sering terkena sabun.

Kursi-kursi bakso dilapnya mengilat, disusun bertingkat dan diletakkan pada sudut ruang dapur. Dengan begitu cepat dia sibakkan debu-debu yang tertinggal di karpet, lipatan-lipatan yang menganga dia rapikan, dan segera dia gulung sendirian.

Yu Sulepret hanya punya dua jam untuk mengerjakan itu semua. Setelah itu, dia akan berpindah ke rumah lain, mengerjakan pekerjaan yang tidak terlalu berbeda, dan kemudian berhenti bekerja setelah rumah ketiga disinggahinya.

"Maaf lho Yu, saya tidak bisa bantu. Si kecil nangis-nangis terus semalam. Masih sakit katanya."

"Ya, gak papa Bu. Saya juga sudah terbiasa kok," Yu Sulepret tersenyum. Jika bukan karena janji upahnya akan dinaikkan, pasti lain hal yang tertampak di wajahnya.

Dulu, sebetulnya Yu Sulepret pernah dengan begitu setia mengabdi pada seorang majikan selama hampir lima tahun. Pada tahun terakhir, dia mesti angkat kaki dari rumah itu.

Pada suatu malam, ketika majikan perempuan masih menghadiri arisan ibu-ibu dan anak lelaki satu-satunya yang masih remaja main ke tempat temannya tepat setelah ibunya beranjak pergi, kamarnya diketuk.

Seorang lelaki berkumis tebal dan berkepala botak mendekatinya. Tangannya mencengkeram kuat tangan Yu Sulepret. Dengan penuh gairah, bibir lelaki itu menjalar pada setiap bagian tubuh Yu Sulepret yang sangat bahenol. 

Dadanya besar dan begitu tampak di dasternya. Kulitnya sawo matang tanpa ada sedikit pun koreng. Wajahnya mulus. Hidungnya mancung. Rambutnya tergerai dan sedikit berponi.

Yu Sulepret lalu berteriak kencang-kencang. Nahas, nasib sial menimpa lelaki itu. Istrinya tiba-tiba datang. Pintu terbuka dan suaminya itu dimarahi habis-habisan. Badannya babak belur dipukul kursi besi. Dari kepalanya mengucur darah. Karena sang istri yang punya segalanya di rumah itu, keesokan hari istri itu mengajukan cerai. Dia pun memecat Yu Sulepret saat itu juga.

Lain halnya lima tahun kemudian. Pemecatan berikutnya terjadi karena gairah Yu Sulepret sendiri yang tidak tertahankan melihat anak majikan barunya sering buka baju setelah binaraga di halaman rumah.

Mata Yu Sulepret tak berkedip. Bibirnya sedikit terbuka. Lidahnya bergerak-gerak. Wajahnya menghangat. Dadanya begitu sesak. Betapa indah pemandangan itu. 

Badan putra majikan yang putih bersih itu begitu tegap. Ototnya kekar, dari tangan kaki hingga perut. Wajahnya tampan sekali. Darah Yu Sulepret yang sudah memasuki umur tiga puluh tahun itu berdesir kencang.

Kembali nahas, peristiwa itu disaksikan oleh majikan perempuannya. Karena tidak ingin anaknya suatu saat mungkin tiba-tiba tergoda untuk bersetubuh dengan Yu Sulepret, mana level majikan dengan pembantu, maka Yu Sulepret kembali dipecat.

Sejak saat itu, Yu Sulepret kapok. Dia memilih menjadi pembantu pocokan. Sehari hanya tiga kali bekerja di tiga rumah majikan. Masing-masing tidak lebih dari dua jam. Terlebih, dia sudah membawa dua anak yang masih kecil ke kota. Tidak mungkin dia merepotkan majikan dengan tinggal bersama mereka.

"Kok terlambat sih Yu? Tumben," keluh majikan kedua. Waktu menunjukkan pukul dua belas. Udara sudah sangat panas.

"Iya, Bu Ngatmino. Maaf, tadi di rumah Bu Sukiyem banyak sekali kerjaan," Yu Sulepret menatap lantai. Ada sedikit perasaan bersalah tampak di wajahnya. Sebagai pembantu pocokan profesional, yang digadang-gadang terbaik dari agen pembantu ternama di kota itu, dia tertunduk malu.

"Ya sudah! Cepat kerjanya. Saya mau ke bank soalnya! Karena ini, upahmu saya potong!"

"Baik Bu," Yu Sulepret pasrah begitu saja. Perjanjian tidak tertulis antara dia dengan majikan kedua itu memang begitu adanya. Setiap keterlambatan akan diikuti dengan pemotongan upah.

Namun, Yu Sulepret tetap bekerja sebaik-baiknya. Baginya, membantu orang terlebih ibu rumah tangga sudah mendarah daging dan dijadikan ladang amal perbuatan.

Wanita yang bergelut dalam rumah, memilih tidak bekerja dan mengurus anak serta suami seharian, dipandangnya tidak kalah hebat dibanding suami yang mencari nafkah di kantor. 

Bagaimana wanita harus sabar membesarkan dan mengajari anak, belum lagi bila anak bandel dan sulit makan, sementara masih pula kerap mendengar keluh kesah suami sepulang kerja, sampai-sampai sering lupa memberi waktu merawat diri sendiri. Sungguh, hanya wanita hebat yang bisa mengerjakannya. 

Dia bisa berkata begitu, karena dia sendiri merasakan. Demi kedua anaknya, dia akan terus membesar-besarkan hatinya sekaligus mengabdikan diri meringankan beban para ibu rumah tangga.

Kekecewaan akan upahnya yang dipotong itu tidak begitu lama. Yu Sulepret tiba-tiba teringat akan rumah majikan ketiganya. Hari itu majikan itu baru pertama kali didatanginya. Berdasarkan info dari agen pembantu, majikan itu mau membayar tiga kali lipat dibanding dua majikan sebelumnya.

Ujung langit mulai memerah. Matahari sebentar lagi tenggelam. Seusai berpamitan, Yu Sulepret menggegaskan kakinya. Bibirnya tersenyum sangat lebar. "Baru kali ini ada orang yang mau bayar mahal," pikirnya.

"Selamat malam, Bu."

Terdengar suara pintu diketuk.

"Yu Sulepret ya? Ayo masuk-masuk," seorang wanita menyapanya dengan hangat.

"Maaf, Bu Nyaimo. Saya kemalaman."

"Sudah tidak apa, baru pertama ini."

Yu Sulepret tiba-tiba berdecak kagum. Rumah itu terlalu indah. Ruang tamunya sangat luas dan berlantai marmer. Gorden di jendela berwarna emas kekuningan. Sofanya besar dan begitu empuk. Hawanya dingin dan segar. "Pantas, bayaran saya mahal," gumamnya.

"Ayo duduk dulu. Kamu pasti capek ya kerja dari pagi."

Yu Sulepret terharu. Begitu ramahnya majikan itu. 

Dari balik pintu kamar tidur bagian depan yang setengah terbuka, sekejap ada suara.

"Sulepret?"

Yu Sulepret memalingkan muka. Wajahnya tiba-tiba ditekuk. Tangannya mengepal keras. Mengapa si kumis tebal dan kepala botak bajingan itu ada di sini?

...

Jakarta

19 Februari 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun