"Kita belum ada ikatan resmi. Kita belum menikah. Ini tidak boleh!" katanya tegas tanpa sedikit pun nafsu. Saya lekas-lekas merapikan baju.
"Dia betul anak baik-baik, Ma. Tidak semuanya yang bertato itu nakal. Saya sudah tanya, tato itu bukti cintanya pada keluarga!"
"Benar ucapanmu?"
"Tolonglah, Ma, untuk kali ini saja. Biarkan saya menikah dengannya."
Karena Mama tidak kuat lagi melihat saya terus-terusan merengek, beberapa kali saya berhenti makan, sehingga tubuh saya mulai kurus kering, akhirnya Mama memberi izin.
"Tapi kamu tanggung akibatnya ya!" sedikit ancaman dalam izinnya.
Akhirnya saya dan Anggara hidup bersama. Dalam pesta mewah di sebuah gedung di tengah kota, mengundang beberapa kerabat dekat dan juga teman yang berulang tahun itu, kami melangsungkan pernikahan.
Ketika malam pertama, saat berahi saya kembali memuncak, saya pegang dan belai lembut badannya. Saya sudah setengah telanjang.
"Saya capek Yang, seharian tadi."
Dengan telanjang dada, dia memilih tidur. Tengkurap. Saya malah semakin bernafsu. Tangan saya menggerayangi tubuhnya yang penuh nama itu. Sungguh banyak sekali keluarganya, sampai-sampai tidak ada bagian tubuh yang tidak bertato nama.
Perlahan saya buka celana pendeknya. Kedua pantatnya yang berotot mulai terlihat. Tiba-tiba, sekejap mata nafsu saya hilang. Amarah saya naik ke ubun-ubun. Saya pukul pantat itu keras-keras, saya dorong badannya sampai terjatuh terguling-guling di lantai.