Apakah setiap tato selalu melambangkan keburukan? Apakah orang bertato identik dengan sifat nakal, keras, dan galak? Apakah orang bertato tidak bisa berbuat baik? Mengapa penilaian orang akan karakter begitu mudahnya terbatasi tato?Â
Berulang kali saya mencoba meruntuhkan pendirian seorang wanita tua di depan saya. Biasanya, untuk sebagian besar perkara, permintaan saya sebagai satu-satunya perempuan yang menemaninya di usia senja itu selalu dikabulkan.
Sebagai wanita yang sudah tidak bisa berbuat banyak hal dalam rumahnya yang terbilang megah, dipenuhi perabotan-perabotan apik yang pernah ditawar bermiliar-miliar oleh kolektor barang antik, wanita itu sepenuhnya bergantung pada saya.
Setiap pagi selalu saya buatkan sarapan roti tawar bakar beroles cokelat dan bertabur keju parut, ditemani secangkir teh panas dan beberapa potong kue kering. Tidak pernah absen saya buatkan baginya sebelum saya berangkat kerja.
Ketika malam, segelas susu hangat rasa strawberry saya sajikan sebagai pengantar tidur. Kedua menu itu adalah makanan kesukaannya yang tidak pernah dibuatkan oleh anaknya yang lain, yang lebih dulu meninggal. Ya, saya akan tetap setia melakukannya, hitung-hitung sebagai tanda bakti padanya untuk umurnya yang mulai bau tanah itu.
"Apa ada yang salah dengannya? Pola pikir itu harus diubah!" kata saya sedikit keras. Wanita itu meneguk susunya. Matanya terpejam, seakan larut akan nikmat manis susu itu.
"Apa tidak ada yang lain? Mengapa harus dia? Mama tidak suka!"
Mama lalu terdiam. Dia menarik selimut dan menekan tombol AC. Lampu dipadamkan. Bila sudah begitu, percuma saya meneruskan ucapan. Usaha saya kembali gagal.
Saya berkenalan dengan Anggara belum begitu lama. Pertama kali bertemu, saya melihatnya sibuk meracik minuman pada pesta ulang tahun teman saya. Dengan dibalut kaos tipis berwarna putih, percikan minuman yang sesekali tumpah terkena badannya, memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang kekar.
Dadanya bidang. Perutnya kotak-kotak. Kulitnya putih. Wajahnya rupawan. Sungguh idaman semua wanita. Beberapa teman yang hadir tidak berhenti menatap parasnya. Seperti tersihir.
"Sudahlah, kamu sama dia saja! Apalagi yang ditunggu? Saya kenal baik dia," kata teman saya yang berulang tahun itu. Saya hanya tersenyum. Pura-pura jual mahal, padahal sebenarnya ada rasa yang tak tertahan ingin lebih kenal dengannya.
Tiba-tiba, perasaan itu menggerakkan saya. Saya memberanikan diri melangkahkan kaki mendekatinya. Jarak kami hanya seratus sentimeter. Saya duduk di ujung meja tempatnya bekerja. Matanya biru.
"Cokelat panas satu," kata saya malu-malu. Mata saya terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Lima kali sempat terhenti sejenak melihat beberapa keanehan.
Dengan tangkas dia mengambil serbuk minuman cokelat dari dalam toples, dia campur dengan air panas ditambah sesendok gula dan krim, kemudian dikocok dalam gelas tertutup sampai cokelat itu sedikit berbuih.
"Ini cokelat panasnya," Anggara tersenyum. Saya tersenyum balik.
Untuk ukuran orang yang baru kenal, saya rasa hubungan kami sudah terlalu jauh. Sejak pertemuan itu, setelah dia mengantar saya pulang ke rumah karena supir saya tak kunjung menjemput, kami semakin erat.
"Anggara baik orangnya Ma, percaya deh! Dia tidak seperti yang Mama pikirkan!"
Mama tetap bergeming. Kali ini dia melipat kedua tangan di dada. Di atas tempat tidur, dia mengembus napas panjang.
"Dia laki-laki nakal, Amila. Kamu tidak lihat, ada tato di tubuhnya?" kata Mama sambil jarinya meremas kencang tepi selimut. Mama sempat melihat sebuah tato berbentuk nama orang terukir besar di leher Anggara.
"Apalagi, dia kerja di bar. Kamu tahu sendiri, di bar itu, banyak wanita seksi. Pasti dia suka main perempuan. Kamu tidak suka diselingkuhi kan?"
"Tapi itu nama ayahnya, Ma. Bukan siapa-siapa. Masak gara-gara itu Mama tidak setuju?"
Karena semakin penasaran, dalam mobil saat mengantar saya pulang, saya bertanya tentang keanehan itu. Bagaimana bisa setengah badannya, dari leher hingga pinggang, bergambar tato dengan banyak nama berwarna-warni, beberapa bermotif naga dan ular sanca.
"Itu nama siapa?" tanya saya perlahan sambil menunjuk lehernya. Ketika dia membuka baju di tengah pesta, memperlihatkan otot-ototnya, tato-tato nama di sekujur tubuh itu terpampang jelas di mata saya.
"Oh ini. Ini nama ayah saya."
"Ayahmu?"
"Iya, satu-satunya lelaki yang membesarkan saya sampai titik darah penghabisan. Ayah rela pergi pagi pulang malam, bekerja menyekolahkan saya bahkan mengambil utang untuk membangun rumah bagi saya. Saya ukir namanya di tubuh ini sebagai salah satu pahlawan dalam hidup saya."
Saya tertegun. Sedikit tersenyum, rasa haru tiba-tiba muncul. Jarang-jarang saya temukan ada lelaki yang begitu perhatian dengan ayahnya.
"Terus ini, nama siapa?" saya menunjuk lengannya. Di sana tertulis nama seorang wanita. Saya tebak nama itu lebih tua darinya.
"Oh, ini ibu saya. Dia juga wanita hebat yang menemani ayah berjuang."
Saya kembali terharu. Saya pandangi tubuhnya dan beberapa nama itu. Semuanya menggunakan kata sapaan, seperti ibu, paman, bibi, kak, dek, dan lainnya yang saya kira itu anggota keluarganya.
"Keluarga nomor satu. Semua orang yang pernah dekat dan berjasa bagi saya, saya tulis di tubuh saya."
Saya tidak menemukan nama wanita yang mencurigakan. Sepertinya Anggara memang anak baik-baik. Apalagi, ketika di kamar itu, sebelum kami pulang ke rumah, saat saya sempat menggodanya, karena saya tidak tahan lagi melihat badan kekarnya itu, berahi saya memuncak, dia terang-terangan menolak saya.
"Kita belum ada ikatan resmi. Kita belum menikah. Ini tidak boleh!" katanya tegas tanpa sedikit pun nafsu. Saya lekas-lekas merapikan baju.
"Dia betul anak baik-baik, Ma. Tidak semuanya yang bertato itu nakal. Saya sudah tanya, tato itu bukti cintanya pada keluarga!"
"Benar ucapanmu?"
"Tolonglah, Ma, untuk kali ini saja. Biarkan saya menikah dengannya."
Karena Mama tidak kuat lagi melihat saya terus-terusan merengek, beberapa kali saya berhenti makan, sehingga tubuh saya mulai kurus kering, akhirnya Mama memberi izin.
"Tapi kamu tanggung akibatnya ya!" sedikit ancaman dalam izinnya.
Akhirnya saya dan Anggara hidup bersama. Dalam pesta mewah di sebuah gedung di tengah kota, mengundang beberapa kerabat dekat dan juga teman yang berulang tahun itu, kami melangsungkan pernikahan.
Ketika malam pertama, saat berahi saya kembali memuncak, saya pegang dan belai lembut badannya. Saya sudah setengah telanjang.
"Saya capek Yang, seharian tadi."
Dengan telanjang dada, dia memilih tidur. Tengkurap. Saya malah semakin bernafsu. Tangan saya menggerayangi tubuhnya yang penuh nama itu. Sungguh banyak sekali keluarganya, sampai-sampai tidak ada bagian tubuh yang tidak bertato nama.
Perlahan saya buka celana pendeknya. Kedua pantatnya yang berotot mulai terlihat. Tiba-tiba, sekejap mata nafsu saya hilang. Amarah saya naik ke ubun-ubun. Saya pukul pantat itu keras-keras, saya dorong badannya sampai terjatuh terguling-guling di lantai.
"Itu nama siapa Anggara!!!"
Lima nama wanita dengan gambar hati terukir di pantatnya. Tanpa kata sapaan. Saya sekilas teringat Mama.
...
Jakarta
10 Februari 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H