Karena semakin penasaran, dalam mobil saat mengantar saya pulang, saya bertanya tentang keanehan itu. Bagaimana bisa setengah badannya, dari leher hingga pinggang, bergambar tato dengan banyak nama berwarna-warni, beberapa bermotif naga dan ular sanca.
"Itu nama siapa?" tanya saya perlahan sambil menunjuk lehernya. Ketika dia membuka baju di tengah pesta, memperlihatkan otot-ototnya, tato-tato nama di sekujur tubuh itu terpampang jelas di mata saya.
"Oh ini. Ini nama ayah saya."
"Ayahmu?"
"Iya, satu-satunya lelaki yang membesarkan saya sampai titik darah penghabisan. Ayah rela pergi pagi pulang malam, bekerja menyekolahkan saya bahkan mengambil utang untuk membangun rumah bagi saya. Saya ukir namanya di tubuh ini sebagai salah satu pahlawan dalam hidup saya."
Saya tertegun. Sedikit tersenyum, rasa haru tiba-tiba muncul. Jarang-jarang saya temukan ada lelaki yang begitu perhatian dengan ayahnya.
"Terus ini, nama siapa?" saya menunjuk lengannya. Di sana tertulis nama seorang wanita. Saya tebak nama itu lebih tua darinya.
"Oh, ini ibu saya. Dia juga wanita hebat yang menemani ayah berjuang."
Saya kembali terharu. Saya pandangi tubuhnya dan beberapa nama itu. Semuanya menggunakan kata sapaan, seperti ibu, paman, bibi, kak, dek, dan lainnya yang saya kira itu anggota keluarganya.
"Keluarga nomor satu. Semua orang yang pernah dekat dan berjasa bagi saya, saya tulis di tubuh saya."
Saya tidak menemukan nama wanita yang mencurigakan. Sepertinya Anggara memang anak baik-baik. Apalagi, ketika di kamar itu, sebelum kami pulang ke rumah, saat saya sempat menggodanya, karena saya tidak tahan lagi melihat badan kekarnya itu, berahi saya memuncak, dia terang-terangan menolak saya.