Meski memang tidak ada tarif khusus dan Sulepret telah dibayar sedikit upah dari perusahaannya, tetapi tetap saja dia merasa penumpang itu kurang ajar. Tahu gitu, dia lemparkan saja kopernya ke rel kereta biar penumpang itu mengambil sendiri. Bila perlu tertabrak kereta.
"Kamu jangan berharap upah dari penumpang!"
"Siap Pak"
Pernah pula dia membantu mengangkat sebuah peti berisi puluhan potong pakaian bakal jualan milik seorang nenek yang bungkuk punggungnya. Nenek itu untuk bernapas saja tersengal-sengal. Seusai menjalankan tugas, dia menolak upah.
"Ini tidak perlu Nek. Nenek sehat-sehat ya," katanya kepada nenek itu sembari bibirnya melukiskan senyuman. Dari matanya mengalir air sebening embun. Sekilas wajah ibunya tampak.
"Di sini, harus ikhlas. Membantu tanpa berharap kembali. Syukur-syukur, kalau penumpang pengertian. Kalau tidak, ya tahan-tahan emosi saja," katanya mengakhiri wawancara. Dia suka memberi petuah agar porter-porter yang berada di bawah tanggung jawabnya tidak berulah.
"Baik, Pak. Jadi, mulai kapan saya bisa bekerja?"
"Besok"
Keesokan hari, Suleot seperti tidak mengindahkan nasihatnya. Entah lupa atau memang tidak mendengarkan, pemuda berumur dua puluh tahun itu mengomeli seorang penumpang. Sulepret jadi teringat dirinya.
"Ini kurang Pak. Bapak menghina saya?" suara Suleot terdengar di sepanjang gerbong sepuluh, gerbong terakhir kereta yang baru saja datang dari ibu kota.
"Kamu minta berapa? Kan bukannya tidak ada tarif?" Bapak paruh baya di depannya melipat tangan di dada. Urat di wajahnya tertarik ke atas.