Hampir sepuluh tahun Sulepret bekerja sebagai porter di stasiun Walangkeket. Bulan depan, tepatnya Desember, dia sudah memasuki satu dekade, sebuah pencapaian luar biasa untuk tubuh yang semakin renta itu.
Tidak ada yang tidak kenal dia di stasiun itu. Mulai kepala stasiun yang telah berganti lima kali selama dia bertugas--entah sampai sekarang dia tidak mengerti mengapa begitu cepat kepala stasiun berganti--, para pedagang tempat dia biasa berutang ketika pemasukannya mengempis tanpa kembang, sampai-sampai petugas jaga toilet yang sehari-hari hanya terkungkung dalam ruangan kecil dan berbau itu.
Dia paham betul stasiun itu. Sebelum bertugas di situ, stasiun bertembok biru itu sering dia lewati ketika berangkat kerja sebagai bell boy di hotel berlokasi tidak jauh dari situ. Bagaimana setiap kereta akan tiba, lagu keroncong diputar, beberapa lampu sorot besar dinyalakan, dan pengumuman dilantangkan dua puluh kali, selalu menjadi pemandangannya saat rehat seusai mengantar barang milik tamu hotel.
Iya, dua puluh kali. Pihak stasiun tidak ingin disalahkan. Mereka telah trauma. Pernah salah satu calon penumpang marah besar setelah tersenggol kereta dengan alasan tidak mendengar jelas pengumuman petugas, padahal telinga penumpang itu jelas-jelas tersumpal headset rapat-rapat.
Selain itu, ketika malam, stasiun itu selalu ramai dipenuhi orang-orang yang hendak mengadu nasib ke ibu kota. Apalagi setelah hari raya. "Apa sih yang bisa memikat orang-orang itu sehingga berbondong-bondong ke sana? Mengapa tidak bekerja di daerah sendiri saja?" Itu pertanyaannya yang sampai sekarang tidak pernah terjawab. Dia tidak mudah percaya dengan penjelasan orang, sampai dia mengalami sendiri. Ya, ibu kota memang penuh misteri.
Apakah yang bisa dikerjakan seseorang dengan pendidikan hanya lulus sekolah menengah pertama? Selain buruh angkat barang di pasar yang ketika itu sudah terlalu banyak jumlahnya, pekerjaan porter yang tiba-tiba terbuka lowongan karena stasiun itu baru selesai dibangun, menjadi satu-satunya harapan baginya menghidupi istri dan ketiga anaknya.
Entah karena doa istri atau rezeki anak, setelah hampir frustrasi karena dipecat sepihak oleh manajer hotel yang sekarang bangkrut itu--dia tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui hotel itu berganti menjadi mal-- Sulepret diterima oleh perusahaan penyedia jasa porter tanpa banyak kendala. Dia tentu bersyukur, pada usianya keempat puluh, masih ada yang mau menerimanya bekerja.
Saking lamanya, Sulepret dipercaya sebagai ketua porter di stasiun itu. Di bawahnya, ada dua puluh porter dengan beragam usia, sebagian besar di bawah tiga puluh tahun. Hari ini, dia diberi kepercayaan oleh perusahaannya untuk mewawancarai seorang pemuda yang hendak melamar kerja, menggantikan salah satu porter bawahannya yang ditemukan meninggal di atas rel kereta.
"Siapa namamu?"
"Suleot, Pak"
"Nama lengkap?"
"Suleot Mleot, Pak"
"Jelek sekali namamu!"
Pemuda itu tertegun. Raut mukanya kesal. Dia merasa diejek.
"Kamu jangan gampang tersinggung. Di sini mental harus keras!"
Pemuda itu lekas-lekas tersenyum. "Siap, Pak!"
"Apa tujuan kamu kerja di sini?"
"Mencari uang, Pak"
"Itu saya tahu. Nenek-nenek ompong juga tahu. Orang kerja pasti cari uang. Selain itu?"
"Tidak ada, Pak," suara pemuda itu terdengar pelan.
"Bila cari uang di sini, lebih baik kamu tidak usah kerja. Di sini, kamu akan banyak kecewa."
Sulepret bercerita pengalamannya di depan pemuda itu. Pernah suatu ketika, dia susah payah menggotong sepuluh koper dan lima tas jinjing sendirian milik seorang penumpang berbadan tegap dan kekar, tetapi beroleh upah hanya dua ribu. Penumpang itu tanpa muka berdosa dengan seenaknya meninggalkan stasiun.
Meski memang tidak ada tarif khusus dan Sulepret telah dibayar sedikit upah dari perusahaannya, tetapi tetap saja dia merasa penumpang itu kurang ajar. Tahu gitu, dia lemparkan saja kopernya ke rel kereta biar penumpang itu mengambil sendiri. Bila perlu tertabrak kereta.
"Kamu jangan berharap upah dari penumpang!"
"Siap Pak"
Pernah pula dia membantu mengangkat sebuah peti berisi puluhan potong pakaian bakal jualan milik seorang nenek yang bungkuk punggungnya. Nenek itu untuk bernapas saja tersengal-sengal. Seusai menjalankan tugas, dia menolak upah.
"Ini tidak perlu Nek. Nenek sehat-sehat ya," katanya kepada nenek itu sembari bibirnya melukiskan senyuman. Dari matanya mengalir air sebening embun. Sekilas wajah ibunya tampak.
"Di sini, harus ikhlas. Membantu tanpa berharap kembali. Syukur-syukur, kalau penumpang pengertian. Kalau tidak, ya tahan-tahan emosi saja," katanya mengakhiri wawancara. Dia suka memberi petuah agar porter-porter yang berada di bawah tanggung jawabnya tidak berulah.
"Baik, Pak. Jadi, mulai kapan saya bisa bekerja?"
"Besok"
Keesokan hari, Suleot seperti tidak mengindahkan nasihatnya. Entah lupa atau memang tidak mendengarkan, pemuda berumur dua puluh tahun itu mengomeli seorang penumpang. Sulepret jadi teringat dirinya.
"Ini kurang Pak. Bapak menghina saya?" suara Suleot terdengar di sepanjang gerbong sepuluh, gerbong terakhir kereta yang baru saja datang dari ibu kota.
"Kamu minta berapa? Kan bukannya tidak ada tarif?" Bapak paruh baya di depannya melipat tangan di dada. Urat di wajahnya tertarik ke atas.
"Tapi kan saya sudah menggotong koper-koper besar Bapak. Masak hanya segini bayarnya?" suara Suleot semakin keras. Dia melemparkan uang lima ribu yang kusut itu ke rel kereta.
Sulepret yang melihat orang mulai berkerumun di sekitar mereka lekas-lekas berlari. Apalagi yang dilakukan orang-orang selain berkerumun ketika melihat ada yang tidak beres terjadi.
"Maaf, Pak, maafkan perbuatannya. Saya yang bertanggung jawab di sini," Sulepret membungkukkan badan. Tangannya menekan bagian belakang kepala Suleot. Suleot dengan terpaksa menundukkan kepala.
"Ya, sudah. Tidak apa-apa. Saya sebetulnya tidak mau pakai dia. Dia saja yang memaksa angkat-angkat"
 "Mohon maaf sekali lagi, Pak. Harap maklum, dia masih muda"
"Jangan diulangi. Kalau penumpang tidak ingin diangkat barangnya, jangan memaksa!"
"Baik Pak, baik"
Penumpang itu akhirnya pergi dengan damai. Tangan Suleot yang mengepal keras sedari tadi perlahan mengendur. Setelah itu, Sulepret dipanggil kepala stasiun.
Dalam ruang kepala, Sulepret harus ikhlas. Hampir satu jam, dia diceramahi karena perbuatan yang tidak dia lakukan. Dia dipandang gagal membina pekerja baru. Dia sempat dilaporkan ke perusahaannya, untuk dipertimbangkan kembali jabatannya sebagai ketua porter. Sempat pula kepala stasiun itu mengajukan usulan penundaan pembayaran upah, tetapi ditolak.
Sulepret kembali harus ikhlas dan menahan emosi dalam-dalam, setelah tidak berapa lama mengetahui Suleot adalah anak dari manajer hotel tempat dulu dia bekerja. Manajer yang memfitnahnya tanpa bukti mencuri barang milik tamu hotel. Manajer yang memecatnya ketika istrinya sedang sangat butuh uang karena hamil tua. Sulepret sungguh tidak ingin menjadi Sulepret ketika pertama kali bekerja sebagai porter.
Ketika dia diam-diam membuntuti seorang pemuda di luar stasiun, memukul tengkuknya dengan batu, dan mengambil seluruh isi dompetnya. Koper-kopernya berserakan. Tas jinjingnya berhamburan.
...
Jakarta,
5 Februari 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H