"Ya sudah. Besok kita ke Pak Subro"
***
Keesokan hari, mereka berdua pergi ke rumah Pak Subro. Orang yang dikenal pintar dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit dengan ilmu gaib. Di depan mereka, tanpa sedikit pun komentar, kepala Pak Subro tertunduk.
Matanya terbelalak melihat bayangan hitam dan gelap, pembawa kematian, bersatu dengan bayangan Bu Bego. Dia tidak pernah menemukan kisah seseram itu. Cepat-cepat dia mengusir mereka pergi. Tanpa sempat berucap, mereka ditendang keluar rumah. Secepat angin berembus, Pak Subro menyebar peristiwa itu ke kalangan warga.Â
"Bapak ibu, jangan dekati Bu Bego! Dia pembawa sial! Pembawa kematian! Hati-hati semua bila mendengar dia menyebut nama! Jauhi! Jauhi!"
Para warga panik. Sebagian mendatangi rumah Bu Bego. Ada yang melempar batu. Ada yang berteriak menyumpahi.Â
"Pergi kau sialan! Jangan tinggal di kampung kami! Dasar pembawa kutuk!"Â
Dirundung ketakutan, Bu Bego memilih tinggal mengurung diri dalam rumah. Dia tidak berani bertemu warga.Â
***
Hari berganti hari, berturut-turut ada saja warga meninggal. Sebagian pemuda melarikan diri ke kota, sementara para tetua tetap tinggal di desa. Mereka percaya kematian bisa datang kapan saja. Mereka merasa percuma berlari darinya. Toh, tidak banyak pula yang bisa dikerjakan pada usia yang sudah bau tanah itu. Bila maut menjemput, mereka ingin dikubur di tanah kelahiran.
Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Desa itu semakin sepi. Tidak ada kelahiran. Kematian merajalela. Tidak ada kesibukan di jalanan. Tempat-tempat pertemuan warga mulai usang dan dipenuhi sarang laba-laba. Pasar-pasar hanya tinggal gubuk-gubuk tua tanpa penghuni. Tinggal pula tiga nama yang belum tercoret pada papan di dinding kamar itu.