Nahas, dicari ke mana-mana, ke seluruh rumah tempat mendiang pernah singgah, tidak ditemukan surat wasiat itu. Di dalam kamarnya, Bu Bego tersenyum. Tangannya memegang sebuah surat yang didapat seusai mengantar nasi goreng itu.
"Suamiku, kita akan kaya raya" Bu Bego tertawa terbahak-bahak. Suami dan anaknya ikut tergelak.
***
Keesokan hari, Bu Bego bangun kesiangan. Dia tidak bisa tidur semalaman. Dia diganggu mimpi aneh. Dalam penglihatannya saat dini hari, bayangan itu muncul. Bayangan itu menyebut sebuah nama. Pak Sumin, tetangga sebelah rumahnya.Â
Sehari setelah itu, terdengar kabar Pak Sumin meninggal tertabrak truk dalam perjalanan ke desa seberang mengantar anaknya sekolah. Badannya tergilas. Tangan dan kakinya lepas. Ususnya terburai di tengah jalan. Darahnya memerahkan aspal. Bu Bego terkesiap.
"Ah, masa iya. Kebetulan mungkin" kata Bu Bego dalam hati. Dia mencoba menenangkan kegelisahannya. Dia belum bercerita kepada suaminya.Â
Malam berikutnya, Bu Bego kembali diganggu. Bayangan itu datang membawa nama baru. Bu Wajik, salah satu tetua desa. Aneh bila sebuah kebetulan, hari berikutnya Bu Wajik ditemukan meninggal dengan muntahan darah berceceran di atas kasur. Wajahnya bengkak. Bibirnya berbusa. Bu Bego tidak tahan lagi.
"Suamiku, aku takut. Kamu tahu kan, beberapa hari ini berturut-turut ada warga meninggal. Namanya persis dengan nama yang disebut dalam mimpiku" Bu Bego terus menggenggam kencang-kencang tangan suaminya. Di tempat lain, seluruh warga ricuh mencari penyebab misteri kematian itu. Mereka saling menyalahkan. Dosa apa kiranya yang telah dibuat desa itu.
"Maksud kamu, Pak Sumin dan Bu Wajik? Siapa yang memberitahumu?"
"Bayangan, Mas. Bayangan"
Suaminya menggeleng-geleng. Dia mencoba memahami tetapi tidak bisa mengerti. Sempat dia pikir istrinya gila.