Seumpama kamu punya kemampuan melihat masa depan, tahu kapan sukses dan saat meraih impian, mungkin kamu akan sibuk mempersiapkan segala sesuatu baik-baik jauh-jauh hari, agar itu sempurna terjadi. Mungkin juga, kamu akan mengundang sanak saudaramu untuk bersama-sama menikmati kegembiraan ketika hari baik itu tiba.
Itu sungguh tidak berlaku bagi Bu Bego. Ketika yang dilihat terjadi, dia tepekur. Dalam rumah pemberian ibunya yang tak seberapa besar itu, bersama suami dan anaknya, satu-satunya saudara yang mau menemani, dia hanya bisa menunggu.
Pernah dia berpikir untuk menolak melihat. Hari-hari terakhir dia memutuskan mengambil sebuah sendok. Tanpa sepengetahuan suami, sendok itu dia tusukan tepat di kedua matanya. Bola mata kiri dan kanan jatuh menggelinding di lantai. Darah mengalir membasahi sekujur tubuh. Tetapi, itu sia-sia. Dia tetap melihat.
Pada dinding kamar rumah itu, terpasang papan kayu besar berisi daftar nama orang yang telah dan akan mendapat giliran menggenapi penglihatannya. Tinggal itu hiburan mereka. Suaminya yang semakin renta hanya bisa mencoret dan berharap nama mereka tertinggal sisa.
Ada empat ratus nama di sana. Dari anak baru lahir kemarin hingga para sesepuh yang hidupnya tinggal menunggu waktu, semua tertulis lengkap dan jelas. Sebagian besar nama itu diperoleh dari buku catatan mendiang ibunya--yang adalah tetua desa--yang terjatuh di bawah pembaringan pada saat mata Bu Bego menatap kedua sosok itu.
***
Kendati samar, Bu Bego yakin ibunya sedang berbincang dengan sesosok bayangan hitam dan gelap. Tidak ada senyum di wajah ibu. Pandangannya tajam menatap balik mata Bu Bego. Tangannya menunjuk-nunjuk.
"Lihat dia, Tuan! Balas perbuatannya!"
Bayangan itu tidak menjawab. Bu Bego terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Keringat dingin bercucuran. Giginya gemeletuk. Bu Bego tiba-tiba ingat sesuatu.
"Segera Tuan! Jangan biarkan dia hidup tenang! Berikan keadilan!"