Bukan sekadar firasat, melainkan berdasarkan olah pikir atas perkataan yang pernah didengarnya. Iya, semua perayaan yang dilakukan sahabatnya itu bersama keluarga di kampung, Andi tahu benar.
Dia tidak menjawab. Telinganya menjauh beberapa jengkal dari telepon seluler. Sengaja dia hidupkan pengeras suara.
"Brooo" Suara Andi semakin besar. Andi semakin khawatir kesedihan sahabatnya semakin parah.
"Sudah Bro, jangan dipikir dalam-dalam"
Dia masih bergeming. Seolah masa bodoh dengan pertanyaan itu. Tangannya ditempelkan di kepala. Memijat-mijat dahinya. Seakan-akan, ingin menghibur pikirannya yang masih tenggelam dan sulit beranjak dari bayangan kesedihan.
"Kamu hebat Bro"
Dia sedikit mengangkat wajah. Keningnya berkerut. Tidak ada angin tidak ada hujan, dia heran mengapa tiba-tiba sahabatnya yang dikenal sejak SMA itu, memujinya.
"Maksudnya?" Sebuah kata pertanyaan mulai keluar dari bibirnya.
"Iya, kamu hebat" Pujian kedua dilontarkan. Belum pula dengan alasan.
"Apa sih maksudmu!"
"Kamu hebat bro, tidak pulang kampung. Yesus, yang kamu dan aku sembah, pasti bangga dengan perbuatanmu" Kemarin, Andi sudah tahu bahwa ibunya melarang pulang. Ibunya sendiri langsung meminta Andi untuk menahannya pulang.