Terbayang jelas di pikirannya malam itu. Natal tahun ini tidak ada perayaan. Tidak ada daging barbeque lezat yang selalu menjadi bahan rebutan dengan kakak-kakaknya. Tidak ada kembang api yang tersulut cantik bersama bintang menghiasi langit. Tidak ada pula jagung bakar panas-panas yang entah mengapa selalu nikmat ketika disantap di daerah pegunungan.
Tidak ada itu semua. Tidak ada.
Di atas meja kotak hitam tepat di tengah kamar, dia membayangkan betapa gelapnya itu semua. Betapa suramnya kebahagiaan yang dia rasa seperti diambil Covid-19 sialan.
Beberapa menit dia tertunduk lesu. Buku-buku cerita kesayangan yang selalu dia baca dan mampu mengalihkan perhatian saat hatinya galau, saat itu terserak saja di atas meja. Benar-benar Natal tahun ini menyedihkan.
"Apa Yesus tidak ingin kelahirannya dirayakan? Mengapa Dia seperti memberikan tulah di hari yang seharusnya Dia beroleh kebahagiaan karena dirayakan pengikut-Nya?"
Pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Dia tidak habis pikir, mengapa Covid-19 tidak lekas dienyahkan oleh Yesus, manusia yang dia percaya menurut Alkitab yang dia baca, sebagai Tuhan. Pribadi yang mampu melakukan apa saja, di mana, dan kapan saja. Bukankah semua yang di bumi di bawah kuasa-Nya?
"Kringgg"
Telepon selulernya berbunyi kencang. Tertera tepat di layar muka, nama Andi. Sahabat terbaiknya di ibu kota. Tempat yang tepat di mana dia selalu mencurahkan isi hati. Andi tahu semua perihal tentangnya.
"Sudah makan malam belum, Bro?" Bro. Panggilan akrab Andi untuknya.
"Belum bro" Suaranya terdengar pelan. Tanpa gairah dan semangat. Bayangan kelam belum beranjak benar dari pikiran.
"Wakakakak. Mikirin apa brother awak? Mikirin Natal ya. Kamu gag perlu bohong" Terka Andi. Seperti anak kembar, Andi seolah tahu bahwa sahabatnya sedang gelisah.