Entah sudah malam keberapa, wabah Lero melanda perumahan itu. Sebagian warga positif terkena, sebagian lagi berjuang mencegah. Takada yang suka menderita penyakit baru itu, yang awal tahun ini merebak dahsyat dengan kecepatan mungkin hampir mirip kecepatan cahaya.
Untuk mengurangi penambahan jumlah penderita, ketua perumahan mengeluarkan maklumat. Setiap warga tidak boleh keluar rumah, bila urusan tidak penting. Bila memang mendesak, wajib mengenakan masker. Wabah Lero itu gampang tertular antarmanusia melalui udara. Hanya masker yang terbukti efektif mencegahnya.
Dengan perasaan senasib dan sama-sama ingin mempercepat selesainya wabah, seluruh warga melaksanakan maklumat. Awalnya patuh, lama-kelamaan, beberapa ibu merasa keberatan. Pada grup WA ibu-ibu kompleks perumahan itu, tertulislah percakapan.
"Bagaimana Bu Budi, anak tidak rewel di rumah?"
"Iya nih, Bu Nisa. Anak saya mulai bosan"
"Anak saya apalagi Bu. Sekarang suka marah-marah. Minta jalan-jalan. Kasihan, tidak ada temannya"
"Kalau saya, hampir menyerah Bu. Bagaimana mengurus si Desi, sementara saya harus bersih-bersih rumah, ngurus jualan online, habis itu masak buat suami. Desi, anak saya itu, saya biarkan saja menonton televisi"
Percakapan itu semakin banyak. Seru dan memanas, dipenuhi curahan demi curahan hati para ibu yang sepakat tidak kuat lagi mengurus anak bila anak mereka hanya bermain di rumah. Emotikon marah dan kesal melimpah menyelingi percakapan.
Mereka merasa kewalahan dan kecapekan dengan urusan dirinya. Apalagi, ditambah mengurus anak. Sendirian tanpa teman. Salah seorang ibu di grup itu adalah istri ketua perumahan.
"Pak, ibu-ibu sepertinya hampir gila"
"Kenapa Bu" Tanya suaminya itu. Di sela makan malam, mereka berbincang.