Siang itu, matahari sedang marah. Dengan terang benderang dia menyinari seluruh semesta, termasuk bumi, planet biru sumber kehidupan. Sorotan cahayanya berhasil mendidihkan permukaan bumi hingga hawa panas bertebaran di mana-mana.
Tanah-tanah mulai retak, rindu datangnya hujan. Sementara, air laut yang luas sekali itu perlahan menguap, membentuk gumpalan awan mengapung di langit. Kendati menguap, laut itu tidak pernah kering.
Sesekali, beberapa penguasa laut, para ikan paus, yang terbilang terbesar dari semua makhluk berinsang penghuninya, muncul ke permukaan laut. Disemprotnya air laut dari lubang kepalanya, hingga tinggi menjulang seperti tongkat. Mereka menampakan diri ke atas udara, dan menjatuhkan berulang kali badan besarnya, sehingga membuat gelombang bergemuruh di permukaan itu.
"Cekrek" Terdengar suara tombol terpencet. Sejumlah orang berdesakan menepi di kapal pesiar, berupaya mengabadikan atraksi mereka di kamera yang tergantung di lehernya. Sekilas kericuhan itu disukai dan menyenangkan, tetapi lain halnya di bawah. Menegangkan.
"Lari..larii...cepat lariiii" Teriak Neo pada Neji, yang tertinggal jauh di belakang. Mereka adalah dua ikan remora yang bersahabat sedari kecil dan menghabiskan waktu remaja dengan berenang-renang mengembara di dasar laut.
"Tunggu aku, Neo"
Neji mempercepat gerakan siripnya. Arus yang semakin kencang di dasar laut, dilawannya sekuat tenaga. Dia belum sarapan pagi itu. Tetapi, masih ada sisa-sisa kekuatan semalam, yang semakin membesar karena ketakutan.
Di belakang Neji, berenang seekor ikan kerapu tua berwarna hitam. Ikan itu beratus kali lipat ukuran dibanding Neo dan Neji. Matanya yang ditutupi tanduk terlihat tajam memandang mereka.
Dalam hitungan detik, Neji hampir mendekati Neo. Sementara kerapu itu terus menyusul dari belakang. Disibakannya sirip besarnya itu. Mulutnya menganga lebar-lebar, seperti kelaparan, hendak memangsa mereka.
"Ayo sembunyi di sini" Neo mengarahkan langkah Neji ke kumpulan terumbu karang. Karena ukuran tubuh mereka kecil, muatlah bersembunyi di lubang-lubang karang berwarna-warni nan cantik itu. Kerapu kehilangan jejak. Mereka selamat.
"Ngapain kalian di sini?" Seekor belut murai tiba-tiba muncul dari sela-sela karang itu. Dia merasa tidur siangnya terganggu atas kehadiran orang asing di rumahnya. Sontak, Neo dan Neji terkejut. Mereka kembali lari terbirit-birit.
***
"Bagaimana ini Neo? Kita tidak bisa begini selamanya. Hidup kita tidak tenang. Kita tidak leluasa bermain selama masih ada kerapu nakal itu. Dia mengawasi gerak kita terus menerus" Keluh Neji pada Neo di rumah karangnya.
"Hmmm..." Neo memutar otak. Benar apa yang dikatakan Neji. Aku harus mencari cara. Teringatlah dia akan sepupunya Neno, si ikan hiu kecil. Sudah lama dia tak berkunjung ke rumahnya.
"Neji, ikut aku" Tanpa membantah, Neji mengikuti arahan sahabatnya itu. Mereka berenang sejauh satu kilometer, mengunjungi Neno di rumah bangkai kapal.
***
"Neno.. Neno.. Neno" Panggil Neo. Dari balik serpihan kapal penuh karat itu, keluarlah Neno. Matanya berkedip berkali-kali. Nyawanya belum kumpul. Masih tertinggal beberapa di alam mimpi.
"Neo, apa kabar, tumben ke sini"
"Iya, Neno. Kabarku baik. Hmm... Kami butuh bantuan."
"Bantuan apa?" Neno bertanya mempertegas. Neo yakin Neno bisa membantu. Beberapa kali dia pusing dengan masalah, Neno bisa memberikan jalan keluar.
"Ini. Kami akhir-akhir ini dikejar kerapu nakal. Ukurannya besar sekali. Kami jadi tak tenang bermain" Kata Neo sembari memperkenalkan Neji pada Neno.
"Kerapu hitam itu bukan? Yang tubuhnya bertanduk kecil dan mukanya jelek itu ya"Â Neno seperti menyadari siapa yang disebutkan sepupunya itu. Dia pernah melihat sewaktu hendak mencari makan.
"Iya benar-benar"
Neno berpikir. Bagaimana cara mengusir kerapu nakal itu. Sangat mustahil, dengan ukuran tubuh mereka yang kecil itu, melawannya. Tiba-tiba dari belakang, muncul sebuah suara.
"Siapa itu" Suara besar menggema. Ayah Neno keluar menemui mereka.
"Ini Ayah, ada Neo dan Neji, temannya"
"Oh, Neo. Ada apa?"
"Begini Yah. Mereka minta bantuan. Mereka terganggu dengan kehadiran kerapu hitam di dekat tempat bermain mereka. Ayah tahu kan, kerapu itu. Itu lho Yah, yang nakal itu. Pernah kuceritakan ke Ayah"
"Oh, kerapu itu. Iya, Ayah tahu" Pernah suatu kali Ayah memukulkan ekornya pada kerapu itu. Kerapu itu pergi menjauh.Â
"Iya, kerapu itu memang suka mengganggu. Semua dimakannya. Bahkan, sudah kenyang pun selalu kelaparan. Ayah saja yang badannya berkali-kali lipat lebih besar darinya, tidak seperti itu"
"Ya, sudah. Begini saja. Bagaimana kalau kamu, Neo dan Neji bermain bersama Ayah. Nanti Ayah lindungi kalian dari kerapu nakal itu"
Karena melihat tubuh ayah sangat besar dan kokoh memanjang, tanpa pertanyaan, Neo dan Neji mengiyakan. Setiap kali mereka hendak bermain, mereka menunggu kedatangan ayah. Mereka bersembunyi di bawah sirip ayah dan tenang bermain, terlindungi dari serangan kerapu itu. Kerapu itu, tidak berani mendekati mereka.
Suatu ketika, ayah menggerak-gerakkan tubuhnya. Siripnya gatal sekali. Ada beberapa daging melekat seperti menggigit-gigit kulitnya. Daging itu tidak sengaja teramati Neo.
"Hmm.. Apa ini, terlihat seperti makanan"Â Dibukanya mulut dan dilahapnya daging itu. Benar sekali, terasa enak di lidah. Ayah pun kembali fokus berenang tanpa terganggu.
Sejak saat itu, dua remora itu, Neji dan Neo selalu bermain di ketiak sirip ayah. Mereka terlindungi dari serangan kerapu, sekaligus kenyang makan daging pengganggu di sirip ayah. Sesekali, remahan makanan ayah juga terhidang untuk mereka. Ayah pun merasa senang dengan kehadiran mereka. Dia rela berbagi makanan, karena mereka sudah menghilangkan gatal-gatal di tubuhnya.
...
Jakarta
30 November 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H