Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Seorang Lelaki di Kolong Jembatan

12 November 2020   13:15 Diperbarui: 12 November 2020   13:35 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang ini berbeda dari siang-siang sebelumnya. Hawa panas sangat menyengat. Bahkan, bila telur dipecahkan di aspal jalan, mungkin akan masak menjadi telur ceplok. Matahari memang sedang tepat melintas di garis khatulistiwa. Begitu info berita.

Sialnya, lelaki itu mengenakan kemeja hitam. Warna yang mudah menyerap panas dan membuat berkeringat. Dia sebetulnya tidak suka, tapi apa daya, hanya itu satu-satunya kemeja yang tersedia di lemari. Cucian istrinya belum ada yang kering.

Karena cintanya mendalam, dia tidak pernah memarahi istri perihal masalah sepele. Masalah parah sekalipun, dia tetap memilih mengendalikan volume suara. Wanita baginya adalah sosok yang disediakan Pencipta untuk dicintai, bukan dimarahi.

Dia lelaki yang selalu dicari di kantor. Pribadinya gampang diajak kerja sama dan tidak kerap mengeluh bekerja. Dalam sehari, mulai pagi hingga petang, dia hanya punya waktu luang ketika istirahat siang.

Waktu menunjukkan pukul 11.30. "Aku pergi dulu ya" Pamitnya kepada salah seorang rekannya.

"Oke" Lelaki itu meninggalkan kantor. Menuju ke sebuah tempat yang baginya dianggap surga.

***

"Mana Budi?" Seru lelaki itu pada seorang bocah. Terlihat tangannya beberapa kali mengipaskan buku ke arah wajah. Pengap sekali memang kolong itu. 

"Belum pulang, Pak. Masih ngamen" Bocah itu menjawab.

"Ya sudah. Sembari menunggu, ayo kita mulai" Lelaki itu menghadap papan tulis dan memunggungi mereka. Para bocah yang sedari tadi sudah siap menimba ilmu. Beberapa meja usang dan kursi reot menemani.

"Sudah dikerjakan PR-nya?"

"Sudah, Pak" Seru mereka serentak. Satu per satu maju ke depan, mengumpulkan buku PR yang ditugaskan kemarin. Bocah-bocah itu galak di jalanan. Tetapi, bila bertemu dengan lelaki itu, mereka berubah sopan. Mereka sangat senang, ada yang masih peduli.

Lelaki itu kembali mengelap keringatnya. Kemeja hitamnya hampir terlihat seperti handuk basah. Perlahan, dibuka pekerjaan bocah dan diteliti dengan saksama. Diiringi semakin panasnya matahari, satu setengah jam tanpa terasa telah berlalu.

Di belakang para bocah, ada tiga ibu duduk menunggu. Tangan mereka merapikan nasi dan tempe orek di atas piring. Itulah makan siang setiap hari yang dinikmati lelaki itu. Bukan bersama rekan kerja, melainkan dengan penghuni kolong jembatan itu.

"Makasih ya, Mas, sudah ngajar hari ini. Saya gag tahu anak saya jadi apa kalau gag ada Mas" Seru salah seorang ibu.

"Sama-sama, Bu". Jawab lelaki itu sembari menikmati makan siang. "Anak-anak, ayo makan dulu" 

Lelaki itu mengajar tanpa dibayar. Bahkan, dia keluar uang untuk membeli buku-buku pelajaran.

Kendati panas menyeruak dan asap debu jalanan bertebaran selama mengajar, sama sekali tidak mengurangi kebahagiaannya, karena bisa melihat wajah bocah-bocah kecil itu.

***

Rekan kerjanya sudah tahu kebiasaan lelaki itu. Tidak heran, mereka memaklumi setiap ada ajakan makan siang, dia menolak. Mereka pun sesekali menitipkan beberapa bungkus makanan untuk dibawanya ke kolong jembatan.

Kegiatan itu, telah dilakukannya berulang-ulang. Bahkan dia berkomitmen, akan diteruskan sepanjang hidup dan sekuat tenaga. Hanya itulah satu-satunya obat paling manjur memulihkan deritanya. Istrinya mandul.

...

Jakarta

12 November 2020

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun