Siang ini berbeda dari siang-siang sebelumnya. Hawa panas sangat menyengat. Bahkan, bila telur dipecahkan di aspal jalan, mungkin akan masak menjadi telur ceplok. Matahari memang sedang tepat melintas di garis khatulistiwa. Begitu info berita.
Sialnya, lelaki itu mengenakan kemeja hitam. Warna yang mudah menyerap panas dan membuat berkeringat. Dia sebetulnya tidak suka, tapi apa daya, hanya itu satu-satunya kemeja yang tersedia di lemari. Cucian istrinya belum ada yang kering.
Karena cintanya mendalam, dia tidak pernah memarahi istri perihal masalah sepele. Masalah parah sekalipun, dia tetap memilih mengendalikan volume suara. Wanita baginya adalah sosok yang disediakan Pencipta untuk dicintai, bukan dimarahi.
Dia lelaki yang selalu dicari di kantor. Pribadinya gampang diajak kerja sama dan tidak kerap mengeluh bekerja. Dalam sehari, mulai pagi hingga petang, dia hanya punya waktu luang ketika istirahat siang.
Waktu menunjukkan pukul 11.30. "Aku pergi dulu ya" Pamitnya kepada salah seorang rekannya.
"Oke" Lelaki itu meninggalkan kantor. Menuju ke sebuah tempat yang baginya dianggap surga.
***
"Mana Budi?" Seru lelaki itu pada seorang bocah. Terlihat tangannya beberapa kali mengipaskan buku ke arah wajah. Pengap sekali memang kolong itu.Â
"Belum pulang, Pak. Masih ngamen" Bocah itu menjawab.
"Ya sudah. Sembari menunggu, ayo kita mulai" Lelaki itu menghadap papan tulis dan memunggungi mereka. Para bocah yang sedari tadi sudah siap menimba ilmu. Beberapa meja usang dan kursi reot menemani.
"Sudah dikerjakan PR-nya?"
"Sudah, Pak" Seru mereka serentak. Satu per satu maju ke depan, mengumpulkan buku PR yang ditugaskan kemarin. Bocah-bocah itu galak di jalanan. Tetapi, bila bertemu dengan lelaki itu, mereka berubah sopan. Mereka sangat senang, ada yang masih peduli.
Lelaki itu kembali mengelap keringatnya. Kemeja hitamnya hampir terlihat seperti handuk basah. Perlahan, dibuka pekerjaan bocah dan diteliti dengan saksama. Diiringi semakin panasnya matahari, satu setengah jam tanpa terasa telah berlalu.
Di belakang para bocah, ada tiga ibu duduk menunggu. Tangan mereka merapikan nasi dan tempe orek di atas piring. Itulah makan siang setiap hari yang dinikmati lelaki itu. Bukan bersama rekan kerja, melainkan dengan penghuni kolong jembatan itu.
"Makasih ya, Mas, sudah ngajar hari ini. Saya gag tahu anak saya jadi apa kalau gag ada Mas" Seru salah seorang ibu.
"Sama-sama, Bu". Jawab lelaki itu sembari menikmati makan siang. "Anak-anak, ayo makan dulu"Â
Lelaki itu mengajar tanpa dibayar. Bahkan, dia keluar uang untuk membeli buku-buku pelajaran.
Kendati panas menyeruak dan asap debu jalanan bertebaran selama mengajar, sama sekali tidak mengurangi kebahagiaannya, karena bisa melihat wajah bocah-bocah kecil itu.
***
Rekan kerjanya sudah tahu kebiasaan lelaki itu. Tidak heran, mereka memaklumi setiap ada ajakan makan siang, dia menolak. Mereka pun sesekali menitipkan beberapa bungkus makanan untuk dibawanya ke kolong jembatan.
Kegiatan itu, telah dilakukannya berulang-ulang. Bahkan dia berkomitmen, akan diteruskan sepanjang hidup dan sekuat tenaga. Hanya itulah satu-satunya obat paling manjur memulihkan deritanya. Istrinya mandul.
...
Jakarta
12 November 2020
Sang Babu Rakyat