"Cuti? Dia gag tahu sebentar lagi kita tampil?" Nadaku meninggi. Aku pura-pura marah, padahal sebenarnya kangen. Setiap latihan, dia motivasi terbesarku. Bila ada suara fals terdengar, senyumnya menjadi obat penenang marahku. Iya, aku paling benci mendengar suara fals. Cempreng boleh, fals jangan.
Itu latihan ketujuh. Lusa dan Senin depan, dua latihan terakhir. Aku berharap dia datang. Seusai latihan, aku kembali ke meja kerja.
Aku merasa ada yang aneh di mejaku. Dari kejauhan, kulihat sebuah undangan berwarna merah muda menyala, bersandar di depan monitor. Kudekati, dan kubuka isinya. "Sepertinya, undangan pernikahan" Gumamku.
Benar saja. Itu undangan pernikahan. Tertulis dengan bahasa indah.
"Dengan hormat, mengundang Saudara pada pernikahan anak kami, Cindy dengan Ananda..."
Sebentar-sebentar. Kuulangi membaca. Benar! Itu namanya Cindy. Alto yang kusayangi. Langsung kurobek undangan itu, kubakar, dan kubuang abunya. Aku tidak membaca selanjutnya. Kuhubungi Desy.
"Des, kau gag bilang Cindy mau nikah?"
"Aku gag tega, Ded. Biar kamu sendiri yang membaca langsung. Dia cuti untuk persiapan pernikahannya" Jawabnya.
Jantungku berdetak kencang. Rasanya aku ingin marah pada diriku. Sial, bodohnya aku. Selama ini latihan bersamanya, berkali-kali bertemu dengannya, tak kuutarakan perasaanku. Sekarang, dia sudah dipinang lelaki lain.
Semangatku buyar. Aku tidak bernafsu lagi melatih. Kuserahkan Doni, asistenku, untuk mengganti. Aku mengajukan cuti.
...