Namaku Dedi. Aku kerja di perusahaan swasta bidang pelayaran. Sudah sepuluh tahun aku mengurusi hal perizinan, untuk kapal-kapal kami yang hendak mengarungi lautan.
Sebagai karyawan, aku terbilang berprestasi. Bukan sombong, hanya berujar kenyataan. Iya, syukur kepada Tuhan, tahun ini aku mendapat penghargaan karyawan teladan.Â
Penghargaan itu tidak hanya diukur dari pencapaian kinerja, tetapi juga kreatifitas di luar kerja. Itu kata tim penilai. Mereka melihat aku beroleh nilai lebih, dari pengalamanku melatih tim paduan suara di kantor.
Tahun ini, tahun ketiga aku melatih. Sebetulnya, sudah tujuh tahun aku berkecimpung. Hanya, empat tahun sebagai anggota, tiga tahun berikutnya naik jabatan sebagai pelatih.
Bagi kamu yang suka bernyanyi, sedikit banyak pasti tahu paduan suara. Kujelaskan secara gampang. Paduan suara adalah banyak suara bernyanyi dalam harmoni, menjadi padu. Minimal terdiri dari SATB. Sopran (suara satu wanita), Alto (suara dua wanita), Tenor (suara tiga pria), dan Bass (suara empat pria).Â
Bila dari tangga nada (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sopran bernyanyi dari nada Sol, Alto Mi, Tenor Do tinggi, dan Bass Do rendah. Segitu aja penjelasan, karena aku tidak bermaksud melatih kamu bernyanyi di sini.
Dari semua suara, selama aku melatih, Alto adalah yang terbaik. Kerenyahan suara rendah wanita selalu berhasil membuat lagu enak didengar. Nuansa sendu disumbangkan dari suara ini.
Apalagi, alto di kantorku. Personilnya enam orang. Satu di antaranya memikat hatiku.
"Des, tumben Cindy gag datang?" Tanyaku pada sahabat terdekat si alto.
"Cuti"
Jawabannya singkat sekali. Takada lagi penjelasan. Desy tahu aku menyukai Cindy.
"Cuti? Dia gag tahu sebentar lagi kita tampil?" Nadaku meninggi. Aku pura-pura marah, padahal sebenarnya kangen. Setiap latihan, dia motivasi terbesarku. Bila ada suara fals terdengar, senyumnya menjadi obat penenang marahku. Iya, aku paling benci mendengar suara fals. Cempreng boleh, fals jangan.
Itu latihan ketujuh. Lusa dan Senin depan, dua latihan terakhir. Aku berharap dia datang. Seusai latihan, aku kembali ke meja kerja.
Aku merasa ada yang aneh di mejaku. Dari kejauhan, kulihat sebuah undangan berwarna merah muda menyala, bersandar di depan monitor. Kudekati, dan kubuka isinya. "Sepertinya, undangan pernikahan" Gumamku.
Benar saja. Itu undangan pernikahan. Tertulis dengan bahasa indah.
"Dengan hormat, mengundang Saudara pada pernikahan anak kami, Cindy dengan Ananda..."
Sebentar-sebentar. Kuulangi membaca. Benar! Itu namanya Cindy. Alto yang kusayangi. Langsung kurobek undangan itu, kubakar, dan kubuang abunya. Aku tidak membaca selanjutnya. Kuhubungi Desy.
"Des, kau gag bilang Cindy mau nikah?"
"Aku gag tega, Ded. Biar kamu sendiri yang membaca langsung. Dia cuti untuk persiapan pernikahannya" Jawabnya.
Jantungku berdetak kencang. Rasanya aku ingin marah pada diriku. Sial, bodohnya aku. Selama ini latihan bersamanya, berkali-kali bertemu dengannya, tak kuutarakan perasaanku. Sekarang, dia sudah dipinang lelaki lain.
Semangatku buyar. Aku tidak bernafsu lagi melatih. Kuserahkan Doni, asistenku, untuk mengganti. Aku mengajukan cuti.
...
Jakarta
31 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H