Mohon tunggu...
hori p.
hori p. Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Solusi atas Tantangan Investasi Migas, Sebuah Opini

17 September 2016   08:51 Diperbarui: 17 September 2016   09:22 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers sebagaimana yang dikutip oleh Kompas.com, disebutkan ada lima tantangan utama yang menghambat masuknya investasi migas di Indonesia. Adapun tantangan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. keabsahan kontrak dan kepastian seputar perpanjangan kontrak bagi hasil,
  2. kurangnya kebijakan dan visi yang konsisten antar lembaga pemerintah,
  3. penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil,
  4. ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah,
  5. ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga.

Sebagai negara yang berkembang dan membutuhkan investasi dari luar negeri untuk mengembangkan lapangan migas yang ada, pemerintah Indonesia harus sigap dan taktis dalam menjawab tantangan tersebut diatas. Tidak hanya galak di kertas dan ucapan tetapi juga diperlukan tindakan nyata guna menjawab tantangan yang dihadapi di industri migas.

Berikut uraian solusi yang dapat digunakan sebagai refensi para pemangku keputusan dalam industri migas.

 1.       keabsahan kontrak dan kepastian seputar perpanjangan kontrak bagi hasil,

kontrak kerja sama bidang migas di Indonesia merupakan kontrak yang ditandatangani antara Negara Republik Indonesia dengan perusahaan asing yang disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). dalam kontrak ini, Negara Republik Indonesia diwakili oleh SKK Migas (untuk kontrak sebelum tahun 2012 dilakukan oleh BPMIGAS) sebagai pihak yang bertandatangan. Hal ini perlu dipahami bersama bahwa keberadaan SKK Migas bukan sebagai pemilik kontrak tetapi sebagai perwakilan dari pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian selayaknya bahwa kontrak migas harus didukung penuh dan dihormati oleh segenap jajaran pemerintahan baik di pusat dan di daerah. Tidak boleh ada pengingkaran atas isi kontrak dan atau penolakan dalam penerapan isi kontrak.

dengan uraian diatas maka jelaslah bahwa kontrak di bidang migas merupakan kontrak yang sah, absolut dan harus menjunjung tinggi kesakralan contract (sanctity of contract). Tidak boleh ada pihak yang dapat merubah isi kontrak secara sepihak, apapun alasannya. Pun demikian dengan masalah perpanjangan dan atau penghentian kontrak. Dalam kontrak diatur tentang syarat-syarat yang terkait dengan perpanjangan dan atau penghentian kontrak yang sedang berjalan. Walaupun Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam, pemerintah Indonesia tidak boleh bisa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia dan K3S berada setingkat, sehingga harus duduk bersama dalam membahas permasalahan yang terkait dengan kontrak kerjasama.

Guna mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan sosialisasi secara intensif, berkala dan tepat sasaran kepada seluruh pihak agar dapat memahami karakteristik dari kontrak kerjasama di bidang migas ini.

2.       kurangnya kebijakan dan visi yang konsisten antar lembaga pemerintah

sejalan dengan kurangnya pemahaman tentang karakteristik kontrak kerjasama migas sebagaimana yang telah diuraikan diatas, terjadi kendala baik teknis maupun non-teknis dalam pelaksanaan kontrak. Masalah ini pun muncul di tingkat lembaga pemerintahan yang gagal paham memaknai kontrak migas. Masih ada lembaga pemerintah yang menganggap bahwa SKK Migas-lah pemilik kontrak sehingga muncullah pola mikir lama yaitu : bila bisa dipersulit kenapa dipermudah?

Selain daripada itu, ego sectoral pun masih merajai pola pikir lembaga pemerintah ini terutama di tingkat daerah. Mereka berpikir bahwa sebagai “pemilik” wilayah, mereka layak untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari ladang migas.

Beda kepentingan pun sering kali mencuat dan menghambat. Bukan semata-mata dikarenakan ketidaktahuan tetapi ada perbedaan yang sengaja dipelihara guna menangguk keuntungan dari problematika yang ada.

Sudah seyogyanya ada kesamaan visi dari lembaga pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam industri migas guna memperlancar kegiatan operasional migas. Langkah yang bisa dilakukan adalah membentuk satuan tugas yang melakukan pemetaan atas ketidakselarasan antar lembaga pemerintah. Setelah hal tersebut selesai maka hasilnya diserahkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti lebih lanjut.

3.       penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil

karakteristik kontrak kerjasama migas yang berlaku mengijinkan perusahaan K3S untuk melakukan investasi dengan cara melakukan pengeluaran-pengeluaran biaya yang dirasa perlu guna memperlancar kegiatan operasional migas namun dengan batasan-batasan tertentu. Pemerintah melalui SKK Migas telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pengeluaran biaya operasional migas. Ada biaya yang digunakan langsung untuk operasional migas dan ada juga bersifat tidak langsung. Atas biaya-biaya tersebut dirangkum dalam Pengeluaran yang disetujui (Authorized for Expenditure – AFE).

Rezim perpajakan telah mengatur tentang biaya-biaya mana yang dapat diterima sebagai BM3P (biaya untuk mendapatkan, memperoleh dan memelihara penghasilan). BM3P ini menjadi dasar penentuan perhitungan biaya penggantian (cost recovery) bilamana K3S telah memulai proses produksi.

Perusahaan K3S menginginkan bahwa apa-apa yang telah disepakati dalam kontrak dapat diterapkan secara nyata dan langsung dalam perhitungan cost recovery. Adanya penafsiran atau perubahan peraturan perpajakan mengakibatkan nilai cost recovery yang bisa diterima oleh perusahaan K3S menjadi lebih kecil sehingga merugikan perusahaan K3S. hal inilah yang sering terjadi pada K3S yang sudah memasuki tahapan produksi.

Langkah yang bisa diambil dalam mengatasi kendala ini adalah menyamakan persepsi antara pihak pengusaha K3S dengan instansi pemerintah yang berwenang untuk melakukan perhitungan cost recovery. Perlu adanya peraturan yang tegas dan jelas serta berumur panjang juga merupakan solusi jitu dalam mengatasi masalah ini.

4.       ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah

uraian pada nomor 3 tersebut diatas sudah cukup menjelaskan mengapa cost recovery menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Perbedaan penafsiran serta ditambah dengan kurangnya informasi yang terkait dengan biaya operasional migas menjadikan ketidakpastian dalam memaknai cost recovery. Belum lagi ditambah ego sectoral terkait dengan penerimaan negara melalui lembaga negara tertentu menjadikan perhitungan cost recovery menjadi semakin runyam.

Berbeda dengan penandatanganan kontrak yang hanya ditangani oleh satu lembaga pemerintah yakni SKK Migas, pelaksanaan perhitungan cost recovery berbeda ceritanya. Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa lembaga pemerintah yang melakukan audit cost recovery yang diantaranya: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan SKK Migas. Keempat lembaga tersebut melakukan audit dengan tujuan yang sama dan obyek yang sama namun berbeda waktu dan cara pandang. Bisa dibayangkan waktu yang digunakan untuk melakukan audit tersebut.

Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia membentuk satu tim khusus yang beranggota BPK, BPKP, DJP dan SKK Migas untuk melakukan audit bersama. Tujuannya adalah memberikan kepastian kepada perusahaan K3S tentang cost recovery yang menjadi hak perusahaan dan menghindari waktu yang terbuang percuma.

5.       ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga

Carut marut kepentingan antar departemen dan lembaga makin membuat kusut masalah yang seharusnya bisa diselesaikan bersama. Ketidakbersediaan untuk mengalah demi kepentingan negara membawa masalah hulu migas kian menggunung dan lama terselesaikan. Disinilah peran aktif dari SKK Migas untuk menjembatani kepentingan antar lembaga dan departemen demi kepentingan negara yang lebih besar.

SKK Migas yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi diharapkan lebih bertaji dalam menjalankan perannya sebagai Pembina, Koordinator dan Pengawas penyelenggaraan, pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. Kesungguhan dalam upaya menyelesaikan permasalahan/sengketa pada kegiatan usaha hulu migas akan memberikan angin segar dalam peningkatan investasi migas.

SKK Migas berhak untuk mengambil posisi sebagai penengah dan bila perlu menjadi penentu dalam menyelesaikan sengketa yang terkait dengan kegiatan usaha hulu migas. Hal ini sejalan dengan isi dari Perpres pembentukan SKK Migas itu sendiri. Sehingga diharapkan sengketa yang timbul dapat diurai dan diselesaikan dengan cepat.

facebook // twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun