Sudah seyogyanya ada kesamaan visi dari lembaga pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam industri migas guna memperlancar kegiatan operasional migas. Langkah yang bisa dilakukan adalah membentuk satuan tugas yang melakukan pemetaan atas ketidakselarasan antar lembaga pemerintah. Setelah hal tersebut selesai maka hasilnya diserahkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti lebih lanjut.
3. Â Â Â penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil
karakteristik kontrak kerjasama migas yang berlaku mengijinkan perusahaan K3S untuk melakukan investasi dengan cara melakukan pengeluaran-pengeluaran biaya yang dirasa perlu guna memperlancar kegiatan operasional migas namun dengan batasan-batasan tertentu. Pemerintah melalui SKK Migas telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pengeluaran biaya operasional migas. Ada biaya yang digunakan langsung untuk operasional migas dan ada juga bersifat tidak langsung. Atas biaya-biaya tersebut dirangkum dalam Pengeluaran yang disetujui (Authorized for Expenditure – AFE).
Rezim perpajakan telah mengatur tentang biaya-biaya mana yang dapat diterima sebagai BM3P (biaya untuk mendapatkan, memperoleh dan memelihara penghasilan). BM3P ini menjadi dasar penentuan perhitungan biaya penggantian (cost recovery) bilamana K3S telah memulai proses produksi.
Perusahaan K3S menginginkan bahwa apa-apa yang telah disepakati dalam kontrak dapat diterapkan secara nyata dan langsung dalam perhitungan cost recovery. Adanya penafsiran atau perubahan peraturan perpajakan mengakibatkan nilai cost recovery yang bisa diterima oleh perusahaan K3S menjadi lebih kecil sehingga merugikan perusahaan K3S. hal inilah yang sering terjadi pada K3S yang sudah memasuki tahapan produksi.
Langkah yang bisa diambil dalam mengatasi kendala ini adalah menyamakan persepsi antara pihak pengusaha K3S dengan instansi pemerintah yang berwenang untuk melakukan perhitungan cost recovery. Perlu adanya peraturan yang tegas dan jelas serta berumur panjang juga merupakan solusi jitu dalam mengatasi masalah ini.
4. Â Â Â ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah
uraian pada nomor 3 tersebut diatas sudah cukup menjelaskan mengapa cost recovery menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Perbedaan penafsiran serta ditambah dengan kurangnya informasi yang terkait dengan biaya operasional migas menjadikan ketidakpastian dalam memaknai cost recovery. Belum lagi ditambah ego sectoral terkait dengan penerimaan negara melalui lembaga negara tertentu menjadikan perhitungan cost recovery menjadi semakin runyam.
Berbeda dengan penandatanganan kontrak yang hanya ditangani oleh satu lembaga pemerintah yakni SKK Migas, pelaksanaan perhitungan cost recovery berbeda ceritanya. Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa lembaga pemerintah yang melakukan audit cost recovery yang diantaranya: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan SKK Migas. Keempat lembaga tersebut melakukan audit dengan tujuan yang sama dan obyek yang sama namun berbeda waktu dan cara pandang. Bisa dibayangkan waktu yang digunakan untuk melakukan audit tersebut.
Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia membentuk satu tim khusus yang beranggota BPK, BPKP, DJP dan SKK Migas untuk melakukan audit bersama. Tujuannya adalah memberikan kepastian kepada perusahaan K3S tentang cost recovery yang menjadi hak perusahaan dan menghindari waktu yang terbuang percuma.
5. Â Â Â ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga