Mohon tunggu...
Honing Alvianto Bana
Honing Alvianto Bana Mohon Tunggu... Petani - Hidup adalah kesunyian masing-masing

Seperti banyak laki-laki yang kau temui di persimpangan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami LGBT Tanpa Perlu Menjadi Hakim

27 Oktober 2020   16:28 Diperbarui: 27 Oktober 2020   16:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi LGBT (rumahfilsafat.com)

Isu mengenai seksualitas kerap kali masih menjadi kurang akrab di telinga publik. Namun, membicarakan isu seksualitas mau tidak mau, akan menjadi terus relevan dan tidak akan hilang dalam waktu dekat.

Seingat saya, pertama kali saya mengikuti dan mendengar tema seks secara serius saat mengambil mata kuliah psikologi klinis, psikologi sosial, dan beberapa mata kuliah lainnya. 

Tema seks memang kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia. Yang lucunya, setiap kali berbicara soal seks, banyak yang malu, atau merasa cemas. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?

Menurut saya, hal itu disebabkan karena di masyarakat kita, seks adalah barang tabu untuk dibicarakan.  Selain itu, hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi seks. Hukumannya pun kejam, yakni api neraka bagi siapapun yang melanggar. 

Perlu diakui, mutu pendidikan kita masih rendah, sehingga pikiran kritis dan rasional terkait seks dianggap berbahaya, maka orang pun patuh buta pada ajaran terbelakang semacam itu.

Padahal, kita semua lahir, karena orang tua kita berhubungan seks. Cinta bisa hadir, ataupun tidak. Namun, seks pasti hadir. Ini tidak dapat disangkal.

Nah, jika kita semua lahir dari seks, mengapa seks lalu ditabukan? Inilah kesalahan berpikir paling mendasar.

Ajaran-ajaran lama membungkam akal sehat dan pikiran kritis. Bahkan, sumber kehidupan pun ditakuti, dan bahkan dipenjara atas nama moralitas dangkal.

Seks adalah bagian dari kehidupan. Ia tidak jelek. Ia tidak perlu ditabukan. Kita hanya perlu untuk melihat seks sebagaimana adanya.

Pro-kontra isu LGBT di  NTT

Beberapa minggu ini, banyak orang kembali membicarakan terkait LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di media sosial.  Hal tersebut dipicu oleh pengakuan seorang pendeta di NTT yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang  gay disebuah media media masa lokal. (Pos Kupang, 8/10/2020)

Pemberitaan tersebut sontak memicu beragam pandangan dan perdebatan. Baik diantara para aktivis, pendeta, dan masyarakat umum. Pro-kontra terkait isu LGBT pun tak terhindarkan.

Tentu tulisan ini tidak akan membahas dalam perspektif LGBT dari kacamata teologis yang luas dan dalam, atau menjadi hakim tanpa palu bagi saudara-saudara yang memiliki orientasi seks yang berbeda.

Tulisan ini hanya akan memeriksa informasi dan kesahihan argumentasi dalam narasi-narasi yang berkembang. Selain itu, saya akan menutup tulisan ini dengan rekomentasi terkait beberapa ayat suci yang digunakan untuk menolak LGBT. 

Disadari atau tidak, berargumentasi seringkali menyisipkan banyak kekeliruan, dan itu berbahaya. Dalam setiap argumen, kita mengajukan alasan (premis) bagi kesimpulan yang dianggap benar. Tapi seringkali, premis yang diajukan keliru dan tidak berhubungan secara logis dengan kesimpulan yang dimaksud. Dengan demikian, argumentasi kita sesungguhnya keliru dan gugur dalam sebuah perdebatan.

Sebagai contoh, seorang tokoh agama menolak kaum LGBT dengan alasan bahwa LGBT akan memicu kekerasan seksual.

Tentunya, alasan tersebut tidak berdasar karena kekerasan seksual tidak eksklusif dilakukan orang yang menyukai sesama jenis, tetapi juga dilakukan oleh orang heteroseksual.

Sayangnya, publik belum banyak  yang mengetahui dan takut untuk mengkritisi argumentasi yang keliru tersebut. Oleh karena itu, menjadi penting untuk membedah banyak persepsi publik yang kurang tepat yang digunakan untuk membenarkan prasangka negatif, perundungan, kebencian, dan diskriminasi kepada kelompok minoritas seksual.

Beberapa argumentasi lainnya yang salah kaprah terkait LGBT sebagai berikut:

"Orang LGBT akan Melakukan Pemerkosaan"

Argumen ini adalah Hasty Generalization Fallacy yang biasanya muncul ketika kasus pemerkosaan terjadi. Fallacy atau sesat pikir tersebut artinya membuat kesimpulan berdasarkan jumlah sampel yang kecil daripada melihat angka statistik yang lebih relevan dengan situasi sekarang.

Faktanya, berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019, kekerasan di ranah privat terhadap perempuan dan anak perempuan, baik dalam ranah rumah tangga maupun di luar rumah tangga adalah kasus yang dominan dilaporkan.

Dalam catatan tahunan tersebut, jumlah kasus tertinggi adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), diikuti oleh Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan ketiga inses. Oleh karena itu, pernikahan hanya legal bagi pasangan lawan jenis, mengasumsikan kasus tertinggi dilakukan oleh orang heteroseksual menjadi masuk akal.

Hal ini tidak membenarkan tindakan pemerkosaan, tetapi menunjukkan bahwa orientasi seksual tidak berperan sebagai motif kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Lantas apa yang menyebebkan pemerkosaan terjadi?

Studi 2016 dari organisasi perempuan Rifka Annisa menjelaskan, ada faktor tunggal penyebab kekerasan terhadap perempuan, yaitu faktor sosial budaya yang disebabkan budaya patriarki dan ketimpangan gender. Singkat kata, relasi kuasa yang terjadi antara pelaku dan korban yang terlibat, sebagaimana yang dilansir dari kompas.com.

"LGBT adalah Penyakit Jiwa dan Menular"

Di dunia kedokteran, pakar neurologi Ryu Hasan sudah menyampaikan kepada media berulang kali bahwa orientasi seksual bukan termasuk penyakit. Menurutnya, dalam singkatan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), hanya T dari transgender yang harus ditangani oleh dokter agar seseorang bisa nyaman dengan identitas seksualnya, tetapi tidak mengubah orientasi seksual orang tersebut. Selain itu, buku panduan diagnosis dan statistik psikiatri (DSM) menyatakan bahwa orientasi seksual bukan penyakit sejak tahun 1973.

Selain itu, orientasi seksual bukanlah penyakit jiwa. Faktanya, penyakit jiwa atau yang seharusnya lebih pantas disebut gangguang jiwa (ODGJ) tidak bisa menular. Dilansir dari hellosehat.com, gangguan jiwa merupakan penyakit yang memengaruhi otak sehingga menggangu keseimbangan kimiawi. Orang yang depresi atau memiliki trauma tidak bisa menularkan masalah milik mereka kepada orang lain.

"Kelompok LGBT rentan mengalami gangguan mental, maka LGBT adalah penyebabnya"

Hal ini adalah argumentasi yang terlalu bias. Dalam banyak jurnal, kita dapat melihat bahwa disparitas kesehatan mental didorong oleh kondisi sosial yang menentukan (contoh: bullying, kebijakan anti-gay). Selain itu, orang-orang LGBT secara inheren bukanlah suatu gangguan.

Jadi, yang menyebabkan orang LGBT menderita gangguan mental karena disebabkan reaksi sosial yang diskriminatif, bukan LGBT itu sendiri.

"Orang LGBT tak mungkin bahagia dan sukses"

Faktanya, banyak orang LGBT yang menduduki posisi penting di dunia. Tim Cook, CEO Apple, adalah seorang homoseksual. Selain itu, perdana menteri Finlandia sekarang merupakan putri dari pasangan orangtua sesama jenis.

Seperti pembahasan sebelumnya, orientasi seksual tidak berhubungan dengan kesehatan mental maupun kebahagiaan mereka. Pada kenyataannya, mereka mengalami penderitaan karena masyarakat yang tidak mau menerima mereka apa adanya tanpa dasar yang jelas.

Oleh karena itu, sebenarnya kebencian terhadap LGBT sangat kontraproduktif. Ketika seharusnya semua orang diberdayakan, masih banyak diskriminasi yang terjadi kepada kelompok LGBT, baik di NTT secara khusus maupun di Indonesia. Padahal, mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Rekomendasi kepada tokoh agama

Sebagai orang Kristen, saya menyadari bahwa di Alkitab, ada ayat-ayat yang secara sekilas eksplisit menolak orientasi seksual nonhetero, eksplisit menolak ekspresi gender yang tidak cisgender.

Teks-teks Alkitab yang eksplisit menolak LGBT, misalnya di kitab Perjanjian Lama, di kitab Imamat, yang eksplisit mengatakan: Orang yang melakukan hubungan seks, laki-laki dengan laki-laki itu harus dihukum mati, misalnya.

Tapi, lagi-lagi, yang harus dipahami, Alkitab bukan kitab yang ditulis untuk semua orang di semua masa. Ia ditulis di suatu momentum waktu tertentu, sosial politik tertentu, situasi teologis tertentu. Maka, kita perlu tahu konteksnya.

Itu alam pikir orang Yahudi yang sedang membangun bangsa, sebagai kumpulan yang sedang membangun bangsa, orientasi itu menambah jumlah manusia. Atau prokreasi.

Jadi larangan itu adalah missi-nya nation building orang yahudi pada masa itu. Maka, teks itu tidak bisa berlaku apple to apple dengan kita pada abad 21 ini.

Hal itu juga berlaku terhadap teks Alkitab yang lain. Contohnya, perbudakan. Di Alkitab, dari halaman pertama sampai halaman terakhir, tak ada larangan perbudakan. Bahkan dalam Injil Perjanjian Baru mengatakan budak harus tunduk kepada tuannya. Tapi, tidak ada orang Kristen, yang paling konservatif, yang setuju dengan perbudakan pada hari ini.

Begitu pun dengan ayat terkait parenting pada perjanjian lama.  Dalam perjanjian lama, anak yang membangkang terhadap orangtua harus dibawa ke Mahkamah Agama dan dihukum mati. Dirajam!

Kalau cara baca Alkitabnya mau konsisten literalis, harusnya kita  tetap mendukung perbudakan dan hukuman rajam seperti itu.

Artinya, larangan terhadap perbudakan dan hukum rajam kepada anak, dilarang karena tradisinya memang melarang, tapi teks kitab sucinya tidak melarang.

Oleh karena itu, kita perlu hati-hati dan membangun dialog dengan penerimaan yang hangat sebelum menghakimi mereka yang kebetulan memiliki orientasi seks yang berbeda. Saya percaya, Tuhan tidak mungkin melihat manusia sebatas pada orientasi seksualnya untuk menentukan seseorang masuk ke dalam surga atau neraka, bahagia atau menderita. Namun lebih daripada itu, Tuhan melihat hati manusia.

Selain itu, momentum ini menjadi momen penting bagi kita semua, untuk memahami dan mempelajari isu LGBT yang kompleks dan rumit, sehingga secara utuh dapat menghindari kesalahan berargumen juga menalar yang dapat melahirkan sikap dan perilaku diskriminatif terhadap saudara-saudara kita yang memiliki orienstasi seks yang berbeda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun