Faktanya, berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019, kekerasan di ranah privat terhadap perempuan dan anak perempuan, baik dalam ranah rumah tangga maupun di luar rumah tangga adalah kasus yang dominan dilaporkan.
Dalam catatan tahunan tersebut, jumlah kasus tertinggi adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), diikuti oleh Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan ketiga inses. Oleh karena itu, pernikahan hanya legal bagi pasangan lawan jenis, mengasumsikan kasus tertinggi dilakukan oleh orang heteroseksual menjadi masuk akal.
Hal ini tidak membenarkan tindakan pemerkosaan, tetapi menunjukkan bahwa orientasi seksual tidak berperan sebagai motif kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Lantas apa yang menyebebkan pemerkosaan terjadi?
Studi 2016 dari organisasi perempuan Rifka Annisa menjelaskan, ada faktor tunggal penyebab kekerasan terhadap perempuan, yaitu faktor sosial budaya yang disebabkan budaya patriarki dan ketimpangan gender. Singkat kata, relasi kuasa yang terjadi antara pelaku dan korban yang terlibat, sebagaimana yang dilansir dari kompas.com.
"LGBT adalah Penyakit Jiwa dan Menular"
Di dunia kedokteran, pakar neurologi Ryu Hasan sudah menyampaikan kepada media berulang kali bahwa orientasi seksual bukan termasuk penyakit. Menurutnya, dalam singkatan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), hanya T dari transgender yang harus ditangani oleh dokter agar seseorang bisa nyaman dengan identitas seksualnya, tetapi tidak mengubah orientasi seksual orang tersebut. Selain itu, buku panduan diagnosis dan statistik psikiatri (DSM) menyatakan bahwa orientasi seksual bukan penyakit sejak tahun 1973.
Selain itu, orientasi seksual bukanlah penyakit jiwa. Faktanya, penyakit jiwa atau yang seharusnya lebih pantas disebut gangguang jiwa (ODGJ) tidak bisa menular. Dilansir dari hellosehat.com, gangguan jiwa merupakan penyakit yang memengaruhi otak sehingga menggangu keseimbangan kimiawi. Orang yang depresi atau memiliki trauma tidak bisa menularkan masalah milik mereka kepada orang lain.
"Kelompok LGBT rentan mengalami gangguan mental, maka LGBT adalah penyebabnya"
Hal ini adalah argumentasi yang terlalu bias. Dalam banyak jurnal, kita dapat melihat bahwa disparitas kesehatan mental didorong oleh kondisi sosial yang menentukan (contoh: bullying, kebijakan anti-gay). Selain itu, orang-orang LGBT secara inheren bukanlah suatu gangguan.
Jadi, yang menyebabkan orang LGBT menderita gangguan mental karena disebabkan reaksi sosial yang diskriminatif, bukan LGBT itu sendiri.
"Orang LGBT tak mungkin bahagia dan sukses"