Beberapa minggu ini, banyak orang kembali membicarakan terkait LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di media sosial.  Hal tersebut dipicu oleh pengakuan seorang pendeta di NTT yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang  gay disebuah media media masa lokal. (Pos Kupang, 8/10/2020)
Pemberitaan tersebut sontak memicu beragam pandangan dan perdebatan. Baik diantara para aktivis, pendeta, dan masyarakat umum. Pro-kontra terkait isu LGBT pun tak terhindarkan.
Tentu tulisan ini tidak akan membahas dalam perspektif LGBT dari kacamata teologis yang luas dan dalam, atau menjadi hakim tanpa palu bagi saudara-saudara yang memiliki orientasi seks yang berbeda.
Tulisan ini hanya akan memeriksa informasi dan kesahihan argumentasi dalam narasi-narasi yang berkembang. Selain itu, saya akan menutup tulisan ini dengan rekomentasi terkait beberapa ayat suci yang digunakan untuk menolak LGBT.Â
Disadari atau tidak, berargumentasi seringkali menyisipkan banyak kekeliruan, dan itu berbahaya. Dalam setiap argumen, kita mengajukan alasan (premis) bagi kesimpulan yang dianggap benar. Tapi seringkali, premis yang diajukan keliru dan tidak berhubungan secara logis dengan kesimpulan yang dimaksud. Dengan demikian, argumentasi kita sesungguhnya keliru dan gugur dalam sebuah perdebatan.
Sebagai contoh, seorang tokoh agama menolak kaum LGBT dengan alasan bahwa LGBT akan memicu kekerasan seksual.
Tentunya, alasan tersebut tidak berdasar karena kekerasan seksual tidak eksklusif dilakukan orang yang menyukai sesama jenis, tetapi juga dilakukan oleh orang heteroseksual.
Sayangnya, publik belum banyak  yang mengetahui dan takut untuk mengkritisi argumentasi yang keliru tersebut. Oleh karena itu, menjadi penting untuk membedah banyak persepsi publik yang kurang tepat yang digunakan untuk membenarkan prasangka negatif, perundungan, kebencian, dan diskriminasi kepada kelompok minoritas seksual.
Beberapa argumentasi lainnya yang salah kaprah terkait LGBT sebagai berikut:
"Orang LGBT akan Melakukan Pemerkosaan"
Argumen ini adalah Hasty Generalization Fallacy yang biasanya muncul ketika kasus pemerkosaan terjadi. Fallacy atau sesat pikir tersebut artinya membuat kesimpulan berdasarkan jumlah sampel yang kecil daripada melihat angka statistik yang lebih relevan dengan situasi sekarang.