I. Kembalilah
Seusai 9 purnama, 8 gerhana, dan ribuan senja berlalu. Aku masih disini mendambamu.
Serunyam itu diriku terjebak, dalam gigil dipinggir unggunan. Dari rumah-rumah tua di lembah-lembah Fatuulan.
Maka jika kau kembali...
Ijinkanlah aku bersumpah, pada batu-batu pemali disekitar Fatumnasi. Untuk menjadikanmu ibu pada tanahku.
Akanku goreskan kembali sajak-sajakku, tentang bibirmu yang begitu ranum. Dari pesisir Oetune yang begitu teduh.
Akanku minta para tetua adat disepanjang kampungku, untuk menyambutmu lewat syair-syair natoni. Tentang indahnya mencintaimu.
Maka kau harus kembali, manisku!
Kembali bersama semilir angin, dan reruntuhan hujan untuk mencintaiku. Agar kita bisa merayakan semua rasa dengan merdeka.
Karna kau adalah segenggam harapan, pada mata air dikaki mutis. Yang memberikan kehidupan pada semua makluk diatas tanahku.
II. Sabda kepada mutis
Aku menyembah kepada semua diatas tanahku,
Kepada uis neno, kepada uis pah, dan kepada leluhurku.
Aku meminta izin kepada semua usif-usif diatas tanahku,
Maka izinkanlah aku sedikit mengungkapkan perasaanku untukmu, manisku!
Aku adalah kesadaran-kesadaran tak bersilsilah, yang melayang diatas rahim-rahim tempat kau berteduh.
Aku adalah kahyalan-khayalan penunggang kuda sepi, yang melilhami penenun-penenun dari hatimu yang sunyi.
Akulah yang pertama membalut tubuh mungilmu, dengan selimut-selimut lusuh tak tersentuh makna.
Akulah pelangi yang terbit dari matamu, setelah embun pagi membasahi pipimu yang jingga.
Aku adalah kabut-kabut kapas yang memelukmu dengan mesra, disaat musim-musim terlampau berat bagimu.
Aku adalah mantra dibibir-bibir pasar, tempat perempuan-perempuan berambut jagung menggantungkan harap.
Akulah yang meredam sedihmu, disaat menatap mayat-mayat kaku dibandara hatimu.
Akulah yang berbisik mesra ditelingamu, perihal busung lapar akan selalu mesra dengan kerusakan lingkunganmu.
Aku adalah mata semesta yang masih terjaga, sejak dermaga diujung selatan mulai mengintai tulang-tulangmu.
Aku adalah hening di pundak-pundak mutis, yang meski sehelai daun jatuh pun tak bisa mengusik keheninganku.
Aku adalah sesuatu, manisku.
Yang hanya bisa kau kenali dari tempat paling bersejarah dihatimu.
Iya, karna hanya disitu semua tentangku tertulis dengan jujur.
III. Sabda kepada kota dingin
Masih terngiang sampai disini, Mantra-mantra suci dari perbukitan Fatu'ulan itu.
Dari sana para tetua adat itu pernah bersabda: Hanya ada dua tempat yang tak bisa digambar dengan kata.
Yang pertama adalah hatimu yang begitu sunyi, dan kedua adalah kota dingin yang begitu teduh.
Iya. Karna hanya pada dua tempat itulah:
Tuhan dan para pujangga sering berkunjung untuk menenangkan diri dan menimba inspirasi.
IV. PuanKu
Puanku,
jauh dikelopak matamu,
merindu redam aku padamu
sungguh hina corona ini,
begitu angkuh mengacaukan rasa
terlalu, jengah aku merindu
anganku, tak terlampau muluk
cukup berjalan dan melagu
berdua bersamamu.
Tegalsari, Maret 2020
Honing Alvianto Bana
Keterangan:Puisi ini di indonesiana, orangramai, suara amfoang, dan blog pribadi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H