"Enos, kau pernah memancing sebelum ini?"
Belum sempat saya menjawab, kail Tinus ditarik oleh sesuatu. Benang kail semakin dekat. Jantung saya berdegub tak beraturan. Tinus mencoba menariknya tetapi gagal. Napas saya tertahan di tenggorokan sampai kemudian seekor ikan gabus sebesar betis orang dewasa menggantung di udara.
"Awih! besar sekali."
Saya melepasnya dari mata kail. Satu per satu ikan-ikan terperangkap. Saya memasukkannya ke dalam ember berwarna hitam. Tinus kembali membuang mata kailnya ke dalam air dan kami kembali duduk. Tali-temali terdiam diatas permukaan air. Bila ada riak berarti itu awal kegembiraan.
Sebelum matahari terbenam,ikan-ikan sudah memenuhi Ember. Mereka terkelepar-kelepar. Saya senang sekali. Sudah lama saya tidak melihat ikan-ikan sebesar ini.
***
Malam jatuh dengan ubun-ubun terluka. Gelap telah menombaki senja yang terkenal manis itu. Saya berjalan mengikuti Tinus dari belakang. Saya dan Tinus pulang dengan perasaan bangga. Seperti pahlawan yang baru saja pulang dengan kemenangan di medan tempur. Awalnya saya senang sekali, tapi kemudian rasa itu berubah menjadi rasa takut. Saya mulai memikirkan tentang ayah dan ibu yang pasti sedang cemas. Mereka mungkin sedang mencari saya kemana-mana.
Ketika mendekati rumah, ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Saya dan Tinus kemudian berpisah diujung setapak.
Dari ujung jalan, terlihat ibu sedang berdiri sambil melihat kearah setapak. Ia sepertinya sedang gelisah. Saya pasrah. Saya memasuki halaman rumah seperti tak terjadi apa-apa. Ibu hanya melihat saya dengan wajah cemberut, sedangkan ayah hanya duduk di muka pintu.Â
Ayah hanya diam, namun saya paham bahwa itu adalah marahnya yang paling dalam. Saya menuju kamar mandi, membersihkan badan lalu berjalan menuju kamar. Saat memasuki rumah, Â tak ada suara apa-apa. Saya heran , ayah dan ibu belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Kami seakan sedang berdebat dalam diam dan bertengkar dalam sunyi.
Beberapa saat kemudian terdengar suara ayah bertanya dengan nada yang meninggi.