Ketika bayangan meninggi di tanah, saya dan Tinus baru saja pulang sekolah. Kami berjalan sambil menendang-nendang kerikil. Tinus bercerita tentang ikan yang ia dapat saat saban minggu memancing di Cekdam [3]. Â
"Ikan gabus disana besar-besar, Enos. Kemarin saya dapat 5 ekor. Besarnya seperti ini," Tinus menunjuk betisnya yang penuh bekas luka sebagai ukuran. Saya mendengar cerita Tinus dengan seksama. Mata saya nyaris tak berkedip.
Sebetulnya, sudah lama saya ingin sekali memancing ikan Cekdam. Tapi tak bisa. Ayah dan ibu selalu melarang saya.
"Jangan pernah pergi ke Cekdam itu, Enos!" kata ayah disuatu sore. " Kau hanya akan di tangkap makluk-makluk halus penunggu tempat itu," ayah berbicara sambil memasukan sebuah pinang ke mulut-nya. "6 tahun lalu," lanjut ayah sambil menaruh kapur di telapak tangangan-nya. "Dua orang kakak beradik pernah tenggelam di Cekdam itu," Ayah berhenti sejenak, meludah ke tanah, lalu kembali melanjutkan. "Sehari kemudian, tubuh mereka ditemukan terapung seperti batang pisang. Mereka bukan tenggelam. Mereka sebetulnya ditarik oleh makluk halus penunggu Cekdam." Â
Sejak mendengar cerita ayah, keinginan untuk pergi ke Cekdam itu saya pendam dalam-dalam. Tak ada yang tahu. Kecuali Yefta Amonot, teman sebangku saya di sekolah.
"Sebentar saya mau ke Cekdam lagi. Kalau kau mau, kau boleh ikut," Tinus berbicara sambil mengusap matanya.
"Tempatnya jauh?", Saya bertanya.
"Tidak! Dekat saja!" Tinus menjawab sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas.
"Kalau begitu saya ingin ikut! tapi sebelum matahari tenggelam, kita sudah harus kembali ke rumah." Tinus mengangguk tanda setuju. "Saya takut jika ayah dan ibu tahu. Mereka pasti akan memukul saya," lanjut saya.
"Tapi caranya bagaimana, biar saat dari rumah, ibu tidak curiga kalau kita hendak ke Cekdam?" saya kembali bertanya. Kami kemudian merencanakan cara untuk bisa mengelabui ibu saya.
"Begini saja. Setelah makan siang, saya akan memanggil kau dari ujung setapak," Tinus berkata sambil menarik ingus kental yang hampir menyentuh mulutnya.