Bisma maju selangkah. Dada sengaja ia busungkan dan tatapannya mantap. Laki-laki cukup tenang karena memiliki bala bantuan yang siap setiap saat.
"Bagaimana jika tidak dua-duanya?" balas Bisma.
Pria bertopeng itu mendecih. "Kurang aj*r! Kamu tidak tahu apa yang terjadi jika tidak patuh? Lihatlah temanmu? Bukankah mereka sedang sekarat? Apakah kamu ingin hidupmu sama seperti mereka?" ejek laki bertopeng.
Bisma tersenyum samar. "Tentu saja berbeda. Aku adalah aku! Jangan samakan dengan mereka. Aku tidak akan mudah kamu kalahkan. Majulah!" tantang Bisma.
Laki-laki bertopeng itu menggeram. Ia menatap sekeliling, tidak ada sesuatu yang mencurigakan, tetapi mengapa sikap Bisma begitu tenang? Pikirnya. Ia mengumpat dalam hati. Emosi yang telah menguasai hati dan pikirannya membuat tak terkendali.
Tanpa pengendalian diri yang baik, laki-laki bertopeng itu berjalan cepat menuju Bisma sambil mengacungkan pisau.
Melihat itu, Bisma segera memberi kode pada pasukan penyelamat yang menunggu di atas gedung lain.
Beberapa detik berikutnya, terdengar suara kaca pecah bersamaan dengan tembakan mengenai dada laki-laki bertopeng.
Tubuh tegap itu ambruk seketika, darah mengalir deras membasahi lantai dari dadanya.
"Kamu kira akan semudah itu?" ucap Bisma sambil tersenyum samar. Setelah laki-laki bertopeng itu mati, gegas Bisma membawa Rega dan pak Romi menuju rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
TAMAT