Dalam norma kehidupan, ada dua jenis penilaian yang melekat pada manusia, yaitu baik dan buruk. Seperti sudah menjadi template yang terpasang dalam otak kita, manusia senang mengotak-ngotakkan segala sesuatu dalam kontras yang berbeda.Â
Hitam dan putih, tua dan muda, kaya dan miskin. Menyatakan sesuatu di antara kedua kontras yang berbeda kebanyakan akan menimbulkan sesuatu yang bersifat ambigu.Â
Hal mudahnya saat kita mendefinisikan remaja. Jika menyelisik pada pola pikir, kebanyakan remaja belum pada tahap dapat memutuskan kehidupan dan jalan pikirannya sendiri. Mereka masih dalam pengawasan orang tuanya. Sulit mengatakan remaja sebagai sosok dewasa. Namun, jika mengatakan remaja sebagai anak-anak pun tidak tepat karena secara fisik mereka sudah seperti orang dewasa.
Sama seperti karya tulis, sebagai pembaca akan ada dua penilaian yang kita labeli, baik dan buruk. Â Dalam menilai sebuah karya, tentu ada standar yang jelas sebagai aspek penilaian. Gambaran mudahnya bisa kita ambil saat menilai nasi goreng dari dua tempat makan berbeda.Â
Misal, kita mengatakan nasi goreng di tempat makan A lebih enak daripada di tempat makan B. Alasan yang kita pakai adalah nasi goreng di tempat makan A; tidak terlalu asin, telurnya di masak dadar dengan ditambahkan bumbu, ayamnya empuk dan tidak terlalu berminyak, sedangkan nasi goreng di tempat makan B; terlalu asin, telurnya dimasak ceplok tanpa diberi bumbu, ayamnya dimasak alot dan berminyak.Â
Meskipun setiap orang memiliki preferensi berbeda dalam menilai suatu karya, tetapi saya yakin standar yang ada di otak kita akan menuju pada satu titik yang sama. Sekali lagi, ini adalah kerja otak manusia, mengerucut pada hal yang dianggap sebagai sesuatu yang benar dan disetujui banyak orang.Â
Seperti contoh menilai nasi goreng tadi, memang bisa saja saya menyukai telur dadar dan ada yang menyukai telur ceplok, tetapi saya yakin semua akan setuju kalau telur yang diberi bumbu akan memiliki poin lebih dan disukai.
Dalam dunia tulis-menulis ini bisa dikatakan saya adalah tunas yang baru ditanam. Saya lebih banyak fokus mempelajari karya fiksi seperti novel atau cerpen. Jika mengatakan saya adalah penulis yang baik, saya rasa hal tersebut belum pantas saya sandang. Saya baru mempelajari kulit luarnya saja, dan belum semua standar bisa saya penuhi. Saya sendiri mengategorikan novel dan cerpen yang baik jika memenuhi beberapa standar.Â
Sesuai Kaidah Penulisan
Jika ada yang bilang saat menulis kamu harus membebaskan diri tanpa memikirkan kaidah kepenulisan, saya 100% setuju. Memikirkan kaidah dan kawan-kawannya yang banyak itu hanya akan memusingkan kita.
Belum lagi kata-kata baku di KBBI. Yakin dengan kapasitas otak kita untuk menghafalnya? Saya akan bilang tidak sanggup. Namun yang perlu saya tegaskan, setelah kita menulis, kita harus mengedit. Saat mengedit itulah silakan kita urus semua kaidah penulisan dan kata-kata baku tersebut. Ada aplikasi KBBI daring dan PUEBI di ponsel pintar kita dan sangat mudah untuk di-download.
Saya pernah membaca karya seorang teman, dan berikut adalah cuplikan kalimat narasi yang dia tulis.
Salah satu mata boneka itu hilang kaki dan tangannya bewarna merah entah itu darah atau memang sudah didesain seperti itu warna boneka Rose nama anak kecil itu.
Kesalahannya "sederhana", hanya tidak meletakkan tanda titik dan koma di tempat yang tepat. Namun, efeknya sangat luar biasa. Apakah kalian tidak berkerut membaca narasi itu? Bandingkan dengan yang sudah saya perbaiki.
Salah satu mata boneka itu hilang. Kaki dan tangannya bewarna merah, entah itu darah atau memang sudah didesain seperti itu warna boneka Rose, nama anak kecil itu.
Bisa mengetahui penggunaan tanda baca yang baik adalah dengan belajar kaidah kepenulisan. Setelah melihat contoh di atas, apa kamu masih malas untuk mengedit tulisanmu?
Kalimat Efektif
Aku berdiri di depan flat yang di mana flat tersebut adalah milik Robi.
Kalimat yang saya tulis di atas adalah contoh kalimat tidak efektif. Mungkin terlihat "luar biasa" karena tulisan tersebut panjang. Namun, kalimat tersebut hanya berputar-putar sehingga mengaburkan inti kalimat. Padahal, kalimat di atas bisa ditulis dengan lebih ringkas.
Aku berdiri di depan flat Robi.
Tujuan utama kita saat menulis narasi dalam novel atau cerpen adalah membuat pembaca menangkap maksud kita. Menulis dengan kalimat efektif akan membantu kita mendapatkan tujuan tersebut.
Majas dan Diksi yang Tepat
Majas dan diksi bukan hanya digunakan dalam puisi. Pada dasarnya kedua hal ini berfungsi untuk memperindah kalimat. Tidak dapat dibohongi, jika kita dapat mengolah dua aspek tersebut, tulisan kita akan terasa mahal. Misal, kita ingin mengungkapkan tokoh yang merasa takut sehingga kesulitan bernapas.
Nyeri kembali menghantam dadaku. Duri-duri mencekat tenggorokan dan pasokan udara dalam paru-paruku semakin menipis. Rasanya aku seperti balon udara yang kehabisan helium.
Dengan menggunakan bumbu penyedap yang pas---majas dan diksi---kita dapat membuat pembaca semakin ingin menikmati karya fiksi yang kita buat.Â
Alur Cerita yang Jelas
Saat menulis cerpen ataupun novel, alur adalah salah satu bagian penting yang harus diperhatikan. Ada tiga macam alur yang bisa dipilih penulis, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur maju mundur (campuran). Penyakit buruk dari para penulis baru adalah suka menulis alur amburadul. Saya pernah menemukan penulis yamg menggunakan alur campuran.Â
Namun, penempatan alurnya sangat tidak tertata. Pada bab pertama, penulis membuat alur mundur, yaitu tokoh memikirkan masa lalunya (kilasan balik) lalu alur bergerak maju.
Setelah cerita berjalan empat bab, penulis kembali memundurkan alur dan di dalam alur mundur itu, penulis kembali menyelipkan kilasan balik. Ada kilasan balik di dalam kilasan balik. Jelas, hal seperti ini membingungkan pembaca bahkan editor ahli sekalipun.
Oleh karena itu, saat menyusun alur cerita pastikan kita menata alur dengan baik. Buat konsisten tanpa perlu berputar-putar. Jika memilih alur campuran seperti kasus di atas, cukup buat satu kilasan balik yang merupakan poin paling krusial dalam cerita, sisanya bisa kita jabarkan dengan alur maju.
Tokoh yang Kuat dan Manusiawi
Saya pernah membaca cerita yang karakter utamanya seperti tidak punya semangat menyelesaikan konflik yang dialaminya. Hidup tidak ada guna, mati pun tidak berbekas.Â
Mungkin kalimat itu adalah gambaran yang cocok untuk menggambarkan kehidupan tokoh. Membuat tokoh yang hanya diliputi kesedihan tanpa ada usaha untuk mengubah hidupnya tidak akan membuat pembaca simpati terhadap tokoh fiksi yang kita ciptakan. Yang ada pembaca justru malas dan ingin segera menutup buku.Â
Belum lagi jika tokoh yang diciptakan tidak manusiawi. Tidak ada manusia yang benar-benar jahat, dan tidak ada manusia yang benar-benar baik. Oleh karena itu, buatlah karakter tokoh kita seimbang. Buat mereka selayaknya manusia hidup, memiliki sisi positif dan negatif sehingga cerita kita akan lebih berwarna dan terasa nyata.
Memiliki Amanat Cerita
Apalah arti cerita yang tidak ada pesan yang bisa kita ambil. Menurut saya, karya yang baik dapat memberikan kesan dan pesan yang dapat diingat oleh pembaca. Dari pesan itulah, karya kita akan abadi dan memberikan manfaat untuk sesama.
Dapat Menghibur
Pada akhirnya, sebuah karya diciptakan untuk mencari penikmatnya. Definisi menghibur di sini bisa kita luaskan; membuat pembaca nyaman, santai, dan memahami setiap cerita yang kita jabarkan. Menurut saya, menghasilkan karya yang menghibur adalah tingkat tertinggi dari penilaian sebuah tulisan yang baik.
Dari banyaknya standar yang telah dijabarkan, saya mengamini bahwa diri saya belum dalam tahap menguasai semua poin tersebut dengan baik. Masih banyak yang harus saya kupas. Tidak ada atlet yang juara hanya karena dia beruntung atau tidur bermalas-malasan. Harus ada usaha dengan latihan yang keras. Lalu, usaha apa yang harus kita lakukan agar menjadi penulis yang baik?
Pertama, rajin membaca. Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca, maka ilmu kita akan bertambah. Sebagai calon penulis yang baik, membaca sudah menjadi makanan yang wajib kita lahap.Â
Saya pernah mendengar salah satu penulis novel terkenal berkata bahwa dia membaca sepuluh buku untuk menghasilkan satu karya. Dari membaca, kita mendapat banyak referensi tentang masalah-masalah yang kita hadapi saat kesulitan menulis. Akan ada inspirasi dan pelajaran yang dapat kita petik dari membaca karya orang lain.Â
Kedua, rajin menulis. Kita sudah membaca banyak buku, tetapi praktiknya kosong. Jelas, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Cara yang tepat adalah jangan berhenti menulis. Setelah kita belajar lewat membaca, praktikkan! Dengan cara ini, kamu akan terbiasa dan selangkah menjadi penulis yang baik.
Sekarang kita telah mengetahui standar tulisan yang baik. Meskipun tulisan kita belum dapat dikategorikan baik, setidaknya kita  dapat memberikan penilaian terhadap tulisan kita sendiri. Dengan begitu, kita akan tahu cara memperbaiki tulisan kita yang berikutnya. Jadi, sudah siapkah menjadi penulis yang baik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H