"Apanya yang sakit?" tanya Arab Kere. Dia langsung mengerti ketika dilihatnya Arab Kere menggerakkan tangannya. Ternyata jari Arab Kere diikat ke besi tempat tidurnya. Dengan perlahan, dibukanya ikatan yang mengikat jari-jari Arab Kere itu.
"Maaf ya Arab Kere, aku gak bisa lama-lama disini. Aku sebentar lagi harus pergi kerja. Arab Kere cepat sembuh ya," kata Gilang dalam hati. Untuk kesekian kalinya, Gilang lebih mementingkan egonya. Mungkin dia belum menyadari kalau ini terakhir kalinya dia melihat Arab Kere masih bernafas.
"Sekarang aku sudah benar-benar siap untuk pulang, Tuhan," ucap Arab Kere dalam hati setelah Gilang pergi.
Besoknya tepat pukul tiga dini hari, Gilang terbangun mendengar suara yang memanggil namanya.
"Apa?" sahutnya sambil terkantuk.
" Arab Kere sudah meninggal," jawab suara dari luar. Sedetik dia terbengong, lalu menangis. Dengan pelan dia keluar, lalu pergi kerumah sakit bersama-sama anak kost yang tinggal di rumahnya. Ternyata di rumah sakit telah berkumpul sana saudara menangisi kepergian Arab Kere.
Tak lama kemudian, jenazah Arab Kere dibawa ke rumah duka dengan ambulance. Ego yng selama ini menang atas Arab Kere tiba-tiba hilang. Mata Gilang tak henti-hentinya meneteskan berbutir-butir air mata.
"Ini yang Arab Kere inginkan,kan? Melihat aku menagisi kepergian Arab Kere. Itu yang selama ini Arab Kere harapkan, bukan? Aku sudah memenuhinya. Arab Kere dengar tidak? Aku sudah memenuhi keinginan Arab Kere itu. Sekarang apa Arab Kere sudah senang, hah? Jawab Arab Kere. Kok sekarang Arab Kere diam sih? Jawab Arab Kere." jerit Gilang dalam hati.
Gilang tak henti-hentinya menagisi Arab Kere walaupun jenazah Arab Kere sudah dikebumikan. Dan bukan hanya dia saja, bahkan seluruh orang yang mengenal beliau mungkin tak kuasa merelakan kepergian beliau.
Malamnya, dia mendapat secarik kertas dibawah tempat tidur almarhum Arab Kere.
"Aku tak menyahut bukan karena aku bisu.