Dalam beberapa tulisan, Saya selalu berkata bahwa Lia Eden salah memasuki zaman. Andai saja Lia Eden hidup dan mendeklarasikan ajarannya pada zaman sebelum agama samawi, pasti Lia Eden akan dianggap sebagai nabi, dan ajarannya mempunyai banyak pengikut. Namun sayangnya Lia Eden hidup dan menyebarkan ajarannya di abad 20, pastinya ajaran Lia Eden dianggap sesat dan mendapatkan banyak cacian.
Banyak orang menganggap bahwa Lia Eden adalah orang halu yang mengaku sebagai nabi, utusan Tuhan. Berbagai macam stigma sudah diterima oleh Lia Eden dan pengikutnya, diskriminasi kepada komunitas itu yang akhirnya membuat Lia Eden dan kelompoknya menutup diri dari dunia luar.Â
Dalam sebuah wawancara kepada Vice, Lia Eden berkata bahwa dia menolak pengkultusan, karena menurutnya orang yang mengaku dikultuskan adalah orang yang dibenci oleh Tuhan.
Dari satu kasus di atas dapat diketahui bahwa, apa yang beredar selama ini merupakan berita bohong, misunderstanding, disinformasi, atau apapun sebutannya. Inilah pentingnya bagi kita untuk berpikir objektif, sehingga kita tidak mudah untuk ikut-ikutan dengan pendapat umum.
Dalam buku yang Saya baca tentang Siti Jenar, pada tahap mitologis, manusia tidak mau atau tidak berani mempertanyakan hal-hal yang dianggap benar tapi tidak masuk akal. Karena mempertanyakan kepercayaan yang dipegangi oleh masyarakat, sama dengan menggugat keabsahan kepercayaan.Â
Sama halnya dengan Saya ketika membahas masalah bab agama dan Tuhan, pernyataan dan pertanyaan Saya yang bertentangan dengan pendapat umum, tentu selalu mendapatkan serangan dari mereka yang beragama.
Perlakuan diskriminatif juga dirasakan oleh Lia Eden, karena membawa ajaran baru yang bertentangan dengan ajaran umum, sehingga banyak ulama menganggap bahwa Lia Eden adalah orang yang tersesat. Anggapan dari ulama itu tentu diikuti oleh pengikutnya, dan pada akhirnya semakin banyak orang bersikap diskriminatif kepada Lia Eden dan kelompoknya.
Sebenarnya, sah-sah saja Lia Eden dan pengikutnya percaya kepada ajaran yang dibawa oleh Lia Eden. Toh, bagi kita sudah jelas bahwa "bagiku agamaku, bagimu agamamu." Dan Saya pun salah satu orang yang menganggap bahwa pemikiran Lia Eden, merupakan pemikiran yang aneh dan tidak masuk akal.Â
Namun kembali lagi, pada tahap mitologis manusia cenderung enggan mempertanyakan sesuatu yang dianggap benar tapi tidak masuk akal. Dan Saya pun menolak untuk menghakimi Lia Eden dan kelompoknya, karena memang pada kenyataannya di dunia ini terdapat banyak sekali nabi, agama, dan kitab suci yang terus berkembang seiring kemajuan peradaban.
Toh, masalah surga dan neraka, hari pembalasan, alam barzah, belum ada satu pun manusia yang sanggup untuk membuktikannya. Maka dari itu, bagi Saya, hal-hal yang bersifat metafisika sangat tidak penting untuk diperdebatkan.
Kita semua mempunyai pemikiran, landasan dalam berpikir, kepercayaan, maupun pedoman dalam hidup bermasyarakat. Maka sudah seharusnya kita tidak perlu memikirkan apa yang dipercayai oleh orang lain, namun bertentangan dengan apa yang kita percayai. Toh, kita ini makhluk kecil di tengah universe yang sangat luas, teramat membosankan jika seputar kepercayaan selalu diperdebatkan.
Manusia hidup di dunia ini tidak sendiri, tidak hidup hanya berdasarkan satu pemikiran dan kepercayaan. Manusia hidup dengan beraneka ragam suku dan budaya, bahasa dan warna kulit, ideologi dan teologi. Maka sudah seharusnya kita sadar, bahwa teramat egois jika kita memaksakan pemikiran kita untuk diterima oleh orang lain, dan menganggap sesat pendapat orang lain hanya karena berbeda dengan apa yang kita percayai.
Agama pada dasarnya tercipta karena zaman dahulu belum ada aturan yang jelas dan bersifat mengikat, banyak praktek pengorbanan yang dianggap tidak masuk akal, dan tercerai-berainya masyarakat pada saat itu. Adanya sebuah agama adalah sebagai sebuah pedoman dalam hidup bermasyarakat, pembeda antara benar dan salah, tentang keadilan, tentang hakekat dari manusia itu sendiri. Di dalam agama yang sangat banyak itu, tetap saja masing-masing agama mempercayai tentang adanya Tuhan walau namaNya berbeda-beda.
Yang penting adalah, setiap agama/kepercayaan mengakui adanya Tuhan. Dan hal itulah yang harus kita semua sadari, walau tiap agama/kepercayaan memiliki penafsiran yang berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H