Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Resesi, Bencana Ekonomi yang Sebenarnya Bisa Dihindari

8 November 2020   13:10 Diperbarui: 8 November 2020   13:18 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via detik finance

Pemerintah Indonesia telah secara resmi mengungumkan bahwa Indonesia mengalami resesi, setelah pertumbuhan ekonomi minus berturut-turut dalam 3 kuartal. 

Sri Mulyani selaku Menkeu juga membenarkan walau ia berkata, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren kenaikan walau dalam kondisi minus. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa kembali beroperasinya moda transportasi, wisata, perhotelan, mall, dll, ikut andil dalam tren kenaikan itu walau masih tetap saja minus.

Sedangkan impor bahan baku farmasi, menjadi salah satu sektor yang menambah ekonomi Indonesia terpuruk selama pendemi. Sebenarnya, apa sih resesi itu? Faktor apa saja yang dapat menyebabkan sebuah negara mengalami resesi? Dan, apa dampak resesi kepada kita semua?

Resesi adalah sebuah kondisi di mana produk domestik bruto atau PDB mengalami kemerosotan, atau pertumbuhan ekonomi berada di level minus selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. 

Beberapa faktor penyebab terjadinya resesi yaitu, jumlah konsumsi dan produksi tidak seimbang. Faktor yang pertama berkaitan dengan daya beli atau belanja masyarakat terhadap sebuah produk. 

Dalam banyak kesempatan, kita sering menemui sebuah produk yang harganya diturunkan atau mendapat diskon. Hal itu tentunya berkaitan dengan hukum supply and demand, di mana ketika sebuah penawaran (produk) naik tetapi permintaan menurun, maka akan menyebabkan turunya harga sebuah produk. Sedangkan jika penawaran menurun tetapi permintaan meningkat, maka akan menyebabkan kenaikan harga suatu produk.

Satu hal yang sangat mudah diamati oleh kita semua adalah, ketidakseimbangan antara jumlah konsumsi dan jumlah produksi, khususnya di saat pendemi seperti sekarang. 

Maka, apa usaha dari Pemerintah untuk menstabilkan jumlah konsumsi dan produksi? Yaitu melalui berbagai macam bantuan sosial seperti prakerja, bantuan UMKM, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal itu dilakukan oleh Pemerintah agar perputaran uang kembali normal, setidaknya dapat menekan laju inflasi. 

Namun sayangnya, yang menjadi motor penggerak dari usaha Pemerintah untuk kembali menggairahkan perputaran uang, adalah mereka yang ekonominya berada di level menengah dan menengah ke bawah. 

Sedang mereka yang ekonominya menengah ke atas? Mereka lebih memilih untuk mengamankan asset dengan mengendapkan uang mereka di bank, atau setidaknya, mereka mengurangi kebiasaan berbelanja. Yang Saya maksud di sini bukan artis atau selebgram, tetapi pengusaha atau pemilik modal.

Hal itu sungguh sangat disayangkan, di saat rakyat miskin disuruh untuk menggerakkan ekonomi dengan berbelanja, rakyat kaya hanya diam sembari menunggu kerja keras dari rakyat miskin membuahkan hasil, yang tentunya akan menguntungkan rakyat kaya itu sendiri. 

Kultur yang seperti inilah yang menurut Saya sangat tidak sehat, karena yang selalu dirugikan dan yang selalu ditekan, adalah mereka yang berasal dari golongan tidak mampu. Padahal kita semua mempunyai kewajiban yang sama dalam rangka memperkuat ekonomi negara kita.

Penerapan PSBB, Pemutusan Hubungan Kerja, juga menjadi dua penyebab dari menurunnya minat belanja masyarakat. Dua hal itu sudah pasti, namun tidak bisa disalahkan.

Ketika dalam masa pendemi, pemutusan mata rantai virus mutlak diperlukan agar wabah segera berakhir dan ekonomi dapat kembali berjalan dengan semestinya.

 Sedangkan PHK dilakukan karena permintaan menurun, atau perusahaan mengalami kerugian atau laba bersih yang berkurang tetapi stok barang masih normal, bahkan surplus. 

Jika PHK tidak dilakukan, otomatis perusahaan akan rugi bahkan pailit. Sebuah ironi yang memang harus diterima oleh semua orang, khususnya perusahaan dan buruhnya.

Faktor yang kedua yaitu, utang. Ketika sebuah negara mempunyai utang namun tidak mampu untuk mengembalikan, akan terjadi kemerosotan ekonomi. Sungguh sangat disayangkan, ketika Indonesia sedang dilanda wabah, Pemerintah justru semakin getol menambah utang. 

Dan yang sangat membuat Saya kecewa adalah, salah satu utang itu guna melancarkan proyek pemindahan Ibu Kota baru. Padahal, Pemerintah tidak perlu gegabah menggenjot proses pemindahan dengan melakukan utang, karena pada kenyataannya negara ini sedang dilanda wabah, dan utang bisa membuat negara ini mengalami inflasi hingga resesi.

Utang, jika Pemerintah mampu untuk menempatkan porsi dari utang itu, Saya yakin negara ini masih bisa menghindari resesi walau kemungkinannya sangat kecil. 

Akan lebih bermanfaat jika utang itu dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, jika Pemerintah Indonesia melakukan lockdown total guna memutus mata rantai penyebaran virus. Namun sayangnya sedari awal, Pemerintah ogah untuk melakukan lockdown total. Alasanya? Tentu berkaitan dengan kepentingan korporasi.

Sebenarnya ada satu hal yang sangat Saya sayangkan dari kepemimpinan Jokowi, terutama dalam menghadapi wabah virus corona. Kenapa Jokowi tidak membuka dialog dengan seluruh elemen lapisan masyarakat? atau istilah umumnya "curhat" dengan seluruh rakyatnya? 

Saya membayangkan suatu kondisi, di mana Presiden Jokowi membuka dialog dengan rakyat, entah melalui live di media, atau face to face dengan rakyatnya. 

Saya membayangkan suatu kondisi di mana Jokowi bicara blak-blakan tentang permasalahan rumit yang sedang dialami oleh negara ini, menjelaskan semua perkaranya, meminta pendapat dari semua masyarakat terkait masalah yang sedang dialami, melakukan sharing, meminta nasehat kepada rakyat, merangkul rakyat untuk tetap bersatu dalam melawan pendemi. Saya sungguh membayangkan suatu kondisi itu, di mana akan menjadi sebuah sejarah yang paling epic, ketika Presiden menyatu dengan rakyatnya.

Namun apa yang terjadi? Pemerintah seolah gengsi, tidak ingin terlihat lemah di mata rakyat, tidak ingin dicap "tidak mampu" mengurus negara yang besar ini, terlebih di depan para oposisinya. Dan yang lebih mengerikan, Pemerintah lebih mendengarkan mereka yang punya modal, yang punya kepentingan untuk kemakmuran mereka sendiri. 

Padahal, menurut Saya tidak ada yang salah dengan sebuah pengkondisian yang Saya bayangkan di atas. Malah, jika Jokowi mampu dan berani untuk melalukan hal itu, justru akan membuktikan bahwa Jokowi adalah sosok yang merakyat dan dicintai oleh rakyat. 

Tidak ada yang salah ketika Pemerintah jujur kepada rakyat, bahwa Pemerintah tidak mampu mengendalikan laju corona dan memohon dengan sangat (bila perlu sambil menangis) agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan, agar semua manusia yang ada di Indonesia bersatu melawan virus corona. Saya sungguh sangat membayangkan momen epic itu, namun sayangnya momen epic yang Saya bayangkan hanya sebuah mimpi, atau bahkan mitos.

Faktor yang ketiga adalah penggelembungan asset, dikutip dari wikipedia, penggelembungan asset terjadi ketika investasi didorong oleh emosi. Misalnya pada 1990-an saat pasar saham mendapat keuntungan besar. 

Mantan Pemimpin FED, Alan Greenspan sering mengungkapkan istilah dengan nama "kegembiraan irasional." Investasi yang didorong oleh emosi ini menggembungkan pasar saham, sehingga ketika gelembungnya pecah, maka akan terjadi panic selling yang tentunya dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

Ya, faktor yang ketiga ini berkaitan dengan aturan sapu jagad yang bernama Omnibus Law. Aturan sapu jagad itu sudah dirancang jauh sebelum adanya virus corona yang melumpuhkan negara ini, melalui beragam slogan tentang kemudahan dalam berinvestasi, Pemerintah terlena hingga tidak menyadari bahwa ancaman dalam ekonomi bukan hanya yang berasal atau terkait dengan human error dan teknis saja, tetapi juga disebabkan oleh alam, virus corona misalnya. 

Padahal, siklus ekonomi sudah sangat memperjelas keadaan, bahwa krisis 10 tahunan pasti terulang lagi, seperti halnya krisis moneter pada tahun 1998 dan 2008. Jika salah satu alasan dibentuknya Omnibus Law adalah untuk meminimalisir krisis yang terjadi pada tahun 2018, alasan itu masih bisa diterima. 

Tapi yang perlu diingat adalah, Indonesia bukan negara produsen tetapi negara konsumen. Pemegang kunci permainan ada di pihak China dan Amerika Serikat, melalui trade war yang sudah berlangsung selama belasan tahun yang lalu.

Dan sekarang lihatlah, dengan adanya iklim politik yang tidak sehat, pembuatan aturan yang tumpang tindih, ditambah semakin perkasanya virus corona, banyak investor yang justru menarik uangnya dari Indonesia, memindahkan uangnya ke negara yang lebih minim konflik.

Hasilnya, bisa dilihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan dan juga nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara asing. Ironi, kan? Namun inilah kenyataan yang harus kita terima akibat dari politik praktis yang selama ini masih menjadi budaya di Indonesia.

Faktor yang keempat adalah inflasi dan deflasi. Amerika pernah mengalami inflasi yang justru membuat negara itu resesi pada tahun 70an, sedangkan Jepang mengalami deflasi yang membuat negara itu resesi pada tahun 90an.

Inflasi dan deflasi merupakan dua faktor yang bisa memicu resesi, sedangkan defisit dan surplus anggaran dapat memicu inflasi serta deflasi. Ketika sedang membahas perihal ekonomi, teramat kompleks karena semuanya saling berhubungan, saling terkait. 

Maka dari itu, sudah seharusnya Pemerintah memikirkan dengan matang hingga detail, menganalisis segala risiko atas aturan atau kebijakan yang mereka buat. Pemerintah harus sering mendengarkan masukan dari para ekonom profesional, bukannya malah menganggap yang mengkritik sebagai oposisi.

Lalu, apa dampak resesi bagi masyarakat? 

Yang pertama adalah penawaran (supply) yang menurun, dan jika hal itu terjadi berlangsung lama, akan menyebabkan krisis barang kebutuhan, yang artinya? Akan menyebabkan kenaikan harga produk.Tentu hal ini tidak akan bagus, mengingat masyarakat sedang kesulitan di tengah pendemi.

Yang kedua adalah akan banyak pemutusan hubungan kerja, karena perusahaan mengurangi jumlah produksi mereka, agar perusahaan bisa bertahan ketika negara ini sedang mengalami resesi. 

Yang ketiga yaitu semakin banyaknya pengangguran, yang juga disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. 

Yang keempat adalah angka kemiskinan akan semakin naik, hal ini tentunya akan memicu banyak sekali dampak turunan, salah satunya yaitu tingkat kriminalistas. Dan jika semuanya sudah sangat parah, tentu akan terjadi penjarahan, chaos, atau bahkan revolusi.

Bencana dalam ekonomi ini sebenarnya bisa dihindari, at least, diminimalisir. How? Tentunya harus melalui menajemen yang tepat, pengambilan keputusan yang tepat, bisa juga melalui keterbukaan kepada rakyatnya, menerima semua kritik serta masukan dari semua kalangan profesional. 

Pemangku kepentingan hanya bisa memilih, larut dalam ego, gengsi, serta emosi. Atau, meminta bantuan dari rakyat atas semua kebijakan maupun aturan yang sedang mereka pertimbangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun